Skip to main content

92

Kawan. Hari ini, detik ini aku begitu rindu dengan setiap candaan bodoh kita. Aku rindu tertawa kalian yang begitu lepas, tanpa beban.

Aku rindu saat saat ketika jam pelajaran kosong. Aku rindu suasana kelas yang hampir tidak beda dengan pasar tumpah. Riuh, teriakan dimana mana, kita habiskan waktu tanpa pelajaran dengan tertawa. Kembali tertawa.

Kawan. Ingatkah? Kita pernah bersama menangis dibelakang kelas, disudut kelas yang kini paling kurindukan.

Kawanku. Aku rindu tiap pecahan kaca yang terlempar, aku rindu alat tulis yang terbuang sengaja sebagai luapan amarah. Aku rindu duduk bersama dengan kalian didepan kelas kita, kelas yang selalu menjadi penyejuk saat hati butuh naungan.

Aku rindu menonton film saat jam pelajaran kosong. Kita semua berkumpul, tenang, serius menatap layar laptop. Serius menikmati film dengan kebersamaan yang kita ciptakan.

Kawan. Sadarkah? Kalian adalah penenang, penasihat paling hebat saat masalah mendera, menghampiriku dengan begitu hebat. Kalian adalah alasan untuk aku tetap tegap berdiri diatas semua ini.

Kawan. Kini, aku berjuang sendiri. Tak ada lagi sambutan ramah kalian ketika aku memasuki kelas. Tak ada kalian lagi yang sibuk menyontek dipagi hari. Tak ada kalian yang duduk di meja guru membahas segala hal tentang sepakbola. Bahkan tak ada kalian didepan kelas. Tak ada kalian lagi yang setiap hari menemani dengan segala tingkah aneh.

Kawan kawanku, bisakah kita ulang kebersamaan kita seperti dulu?
Sekedar tertawa untuk berpisah kembali. Aku rindu kalian semua.

Comments

Popular posts from this blog

Gadis Lima Belas Tahun

Lalu, gadis berumur lima belas tahun itu menghampiriku perlahan, sambil melambai manja ia menawarkan: "Dua ratus lima puluh ribu, mas." Aku hanya senyum sekadar senyum. "Umurmu berapa, dek?" "Lima belas tahun, mas." "Bukankah tak baik gadis lima belas tahun di sini?" Lalu, hening sesaat. Sesak dadaku berpikir kalau-kalau ucapanku menyinggung perasaannya. "Hidup tak hanya tentang baik dan buruk, mas. Setidaknya begitu menurut saya."

Tapi, Indramayu adalah Romantisme

Dadaku pernah mendesir selagi menyaksikan rusa-rusa diberi makan oleh mereka yang berbahagia di Ranca Upas, di Bandung. Menjaring kabut di Lembang, bercengkrama dengan dingin yang menyapa sampai kulit terdalam. Aku pernah, menikmati ombak lemah-lembut di pantai di Gunung Kidul. Pasir putih dan tebing yang indahnya bukan main. Atau diterjang ombak besar di pantai Trisik, di Jogja. Memetik buah naga di sepanjang pekarangan di dekat pantainya. Menyapa angin pantai yang tiupannya membuat rambut gondrongku tertiup angin kesana-kemari. Menelusuri keraton dan bertukar cerita di salah satu angkringan di dekat alun-alun Kidul. Atau bercengkrama disela-sela belanja di pasar Beringharjo yang khasnya tak pernah lekang oleh waktu. Bersantap nasi kucing dengan lauk beberapa tusuk usus dan sate telor puyuh, dan sejuta keramahan yang tersimpan rapih di sudut-sudut kota. Bandung adalah tempat paling tepat bagi siapapun yang mau menaruh sejuta luka, melupakannya sejenak dan menikmati segala pernak-pe

Bocah Cadel Lampu Merah - Morfem

Ku menghentikan motorku Di lampu merah selatan Jam sebelas di arloji Kurapatkanlah jaketku Dan, berkhayal telah di rumah Seorang bocah lelaki Yang belum lancar bicara Mendekati dengan senyum Dan tangan yang menengadah Sepertinya hanya itu Yang baru sempat diajarkan Oleh Ibunya Ia bermain, besar di trotoar Diterangi, hangat lampu jalan Nyanyi riuh klakson, debu Ia dibuai, caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Mendung siang hari, peluh Bermandi hujan di aspal Malam silih berganti Pasti jumpa dirinya Kini mulai bisa nyanyi Lagu yang sering di TV Walaupun cadel lidahnya Ia bermain besar di trotoar Diterangi hangat lampu jalan Ia dibuai caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Nyanyi riuh klakson, peluh Bermandi hujan di aspal Tampak ibunya bangga Di kejauhan berkipas Sambil nikmati limunnya