Skip to main content

Posts

Showing posts from 2019
Aku menutup mata Gelap, hening dan hampa Selama ini, kematian selalu menakutkan Diantara sedikit kesadaran, Aku bergumam, "Kematian tidak melulu mengerikan"

Di Warung Kopi Jam 1 Pagi

Di warung kopi di jam satu pagi Obrolan dibuka tentang politik dan sepiring nasi yang harus terhidang besok pagi Penumpang yang entah turun dari bus kelelahan atau manusia entah apa atau bahkan setan jenis apa yang hendak menumpang dini hari Di warung kopi, rupiah adalah makhluk halus yang selalu ditunggu kedatangannya Di pangkalan yang sudah akrab dengan terik matahari dan keringat diri adalah tempat terbaik menunggu makhluk paling diburu satu semesta Kadang ia datang dengan lembaran merah yang tercetak namanya diikuti sederet nominal, kadang ia menghampiri  berwujud koin perak dengan nominal yang tak lebih banyak Kopi dan setumpuk obrolan ringan menjadi penghias malam setiap petang "Kopinya kang, satu", kalimat yang akrab sebelum segelas air hitam pahit berada di atas meja Lalu diikuti obrolan yang, seperti selalu, membuat malam menjadi lebih hidup Diantara lampu jalan yang redup-redam, di pinggir aspal yang ratusan jenis mobil lalu-lalang, di malam yang kadang ber

Bocah Cadel Lampu Merah - Morfem

Ku menghentikan motorku Di lampu merah selatan Jam sebelas di arloji Kurapatkanlah jaketku Dan, berkhayal telah di rumah Seorang bocah lelaki Yang belum lancar bicara Mendekati dengan senyum Dan tangan yang menengadah Sepertinya hanya itu Yang baru sempat diajarkan Oleh Ibunya Ia bermain, besar di trotoar Diterangi, hangat lampu jalan Nyanyi riuh klakson, debu Ia dibuai, caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Mendung siang hari, peluh Bermandi hujan di aspal Malam silih berganti Pasti jumpa dirinya Kini mulai bisa nyanyi Lagu yang sering di TV Walaupun cadel lidahnya Ia bermain besar di trotoar Diterangi hangat lampu jalan Ia dibuai caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Nyanyi riuh klakson, peluh Bermandi hujan di aspal Tampak ibunya bangga Di kejauhan berkipas Sambil nikmati limunnya

Kita Semua adalah Angka

Kita adalah seberapa besar gajimu perbulan Kita adalah seberapa tinggi badanmu yang diukur dalam satuan inci Kita adalah berapa usiamu dihitung dari nol tahun Kita adalah berapa barang bagus yang dipunya Kita semua adalah angka yang berjalan Kita adalah seberapa besar Indeks Prestasi Per-semester dirangkum dalam Indeks Prestasi Kumulatif Kita adalah seberapa besar uang jajanmu perbulan Kita adalah seberapa besar hutang dan presentase penagih dalam sebulan Kita adalah angka yang berjalan Kita adalah seberapa besar tempat tinggal yang dipakai tidur Kita adalah berapa harga pakaianmu dikali gaya hidupmu yang membuat orang menyembahmu Kita adalah seberapa besar imanmu, yang tahan melihat orang makan di bulan ramadhan Kita adalah seberapa tebal imanmu melihat manusia dengan agamanya yang lain beribadah Kita adalah angka yang dikali sana-sini, ditambah ini-itu dan berjalan Kita adalah semangkuk kematian di depan mata Kita adalah tentang jumlah korban yang darahnya mengotori ma

Ramadhan di Bandung

Tuhan, Bagaimana aku hendak berbuka puasa dengan suka cita sedang anak-anak kecil dengan kaleng usangnya menengadahkan tangan di sela-sela lampu merah di Astana Anyar? Bagaimana aku akan menikmati seporsi makanan enak di depanku selagi aku melihat ibu-ibu di bawah Pasoepati seharian menggendong anaknya yang terbakar matahari, seharian sambil menjajakan tissu demi sesuap nasi? Tuhan, Tega kah aku melahap roti isi daging dan sayur segar di hadapanku sedang mataku menatap tajam bocah lelaki yang sumbang menyanyi demi rokok dan sebungkus nasi di sela lampu merah di Soekarno-Hatta? Sejahat itukah aku merayakan adzan magrib selagi bapak-bapak seusia bapakku duduk beristirahat karena seharian lelah menjajakan aksesoris yang jarang dibeli di Tegalega? Tuhan, Jika kelak aku diizinkan olehMu masuk surga, akankah wajah-wajah lelah itu aku temui di sana? Jika menahan lapar dan tidak minum seharian mampu membuatku merasakan nikmat surgaMu, sudahkah pasti mereka berada di sana sebagai yang p

Gadis Sepuluh Tahun

"Tuhan, Boleh aku iri tidak? Melihat mereka yang tidak pernah kenal sembahyang tetapi rajin sekali memberi makan anjing, kucing, mengasihi makhluk-makhlukmu yang lain. Boleh tidak aku iri? Melihat mereka yang tidak pernah sembahyang tetapi paling rajin membantu sesama, mengasihi tetangga juga menolong yang kesusahan. Aku iri karena ternyata sembahyangku selama ini hanya untuk diriku sendiri." Gadis sepuluh tahun menyampaikan isi hati yang ada di kepalanya kepada Tuhan.

Sekantung Besar

Adakah yang lebih menyenangkan selain masa kanak-kanak? Masa di mana kamu bebas melakukan hal apapun yang kamu mau, bahkan ketika melanggar aturanpun orang-orang memaklumimu sebagai kanak-kanak yang belum mengerti cara, belum mengerti norma dan dogma. Adakah yang lebih menyenangkan dari itu? Dari masa dimana bermain petak umpet, kelereng dan main bola di lapangan becek di dekat rumah tanpa harus memikirkan masa depan yang semakin hari semakin membuat pesimis. Kanak-kanak adalah keajaiban terindah yang Tuhan pernah berikan kepada siapapun. Kanak-kanak adalah arti bahwa tidak harus memikirkan beban orang tua yang kesulitan membayar biaya sekolah, yang kesulitan memberi jajan untuk sehari-hari. Kanak-kanak adalah sekotak besar harapan dimana imajinasi berkumpul dan logika tidak bisa menghancurkan itu. Adakah yang lebih indah dari itu? Merasakan ciuman hangat Ibu, suapan manisnya yang dengan hati-hati menghantarkan makanan ke mulut yang rewel sekali bertanya tentang segala hal, merasakan

Pulang, Rumah dan Luka

Yang aku tau, tiap orang punya lukanya masing-masing. Entah besar menganga atau sekecil titik setelah kalimat atau kata, ditambalnya luka itu dengan senyuman palsu di bibir, semata-mata agar semuanya menjadi lebih baik, semata-mata agar semuanya terlihat baik-baik saja. Aku masih menghisap sebatang rokok yang ujungnya sudah abis terlumat api, apinya terus menggerus sampai hanya menyisakan setengah badan rokok ketika aku memberanikan diri menghampiri perempuan yang duduk diujung tempat di terminal tempat aku menunggu tumpangan. Lelah jelas terlihat dari keningnya yang sedikit berkeringat, tas besar di sampingnya menandakan ia akan pergi ke suatu tempat, entah kemana. "Lagi nunggu, mba?" Obrolan yang jelas basa-basi, adzan maghrib beberapa saat akan terdengar dari sudut musholla di samping kios para pedagang. Tak ada maksud apapun, murni obrolan pembuka, aku butuh lawan bicara. "Iya", jawaban singkat yang dengan segera disusul senyum dari bibir perempuan, wajahnya

Kereta Hari Ini

Kereta hari ini lebih bersih, lebih tertib dan tentu, lebih tertata dan rapih. Tahun ketika aku terakhir naik kereta, kereta masih dijajahi banyak sekali orang jualan. Mulai dari kopi sampai nasi goreng, mulai dari yang menjual air mineral sampai goreng-gorengan. Rame sekali. Hari ini, ketika setelah sekian lama baru merasakan lagi menikmati duduk di kereta, aku justru rindu ketika terakhir kali merasakannya. Riuhnya pedagang kopi yang menjelajahi gerbong demi gerbong sambil menenteng termos yang bentuk dan warnanya begitu khas. Berisiknya orang berdagang gorengan menawarkan setiap bakwan, tempe goreng, tahu goreng dan berbagai macam aneka gorengan lainnya. Gerbong ekonomi tahun-tahun itu begitu kacau dan amat sangat tidak tertib, sampai beberapa kali aku tak dapat tempat duduk. Beruntung ada kebaikan menghampiri kami waktu itu ketika semua sedang sibuk menikmati kekacauan yang terhidang di depan mata. Anak muda yang waktu itu usianya kurang-lebih seperti umurku hari ini mempersilahk