Skip to main content

Sekantung Besar

Adakah yang lebih menyenangkan selain masa kanak-kanak?

Masa di mana kamu bebas melakukan hal apapun yang kamu mau, bahkan ketika melanggar aturanpun orang-orang memaklumimu sebagai kanak-kanak yang belum mengerti cara, belum mengerti norma dan dogma. Adakah yang lebih menyenangkan dari itu? Dari masa dimana bermain petak umpet, kelereng dan main bola di lapangan becek di dekat rumah tanpa harus memikirkan masa depan yang semakin hari semakin membuat pesimis.

Kanak-kanak adalah keajaiban terindah yang Tuhan pernah berikan kepada siapapun. Kanak-kanak adalah arti bahwa tidak harus memikirkan beban orang tua yang kesulitan membayar biaya sekolah, yang kesulitan memberi jajan untuk sehari-hari. Kanak-kanak adalah sekotak besar harapan dimana imajinasi berkumpul dan logika tidak bisa menghancurkan itu. Adakah yang lebih indah dari itu? Merasakan ciuman hangat Ibu, suapan manisnya yang dengan hati-hati menghantarkan makanan ke mulut yang rewel sekali bertanya tentang segala hal, merasakan gendongan Bapak di pundaknya yang semakin kesini semakin tidak sekuat dulu, dan itu membuatmu risau.

Kanak-kanak adalah tentang kebebasan melakukan apapun, mencorat-coret tembok ruang keluarga, menggambar di buku gambar dengan segala pikiran kosong yang tidak harus berpikir tentang bagus-tidaknya hasil, menunjuk segala jenis mainan; bersuka ketika dibelikan, menangis ketika Bapak menolak mengabulkan. Indah dan tidak ada yang lebih indah dari itu.

Dewasa adalah membawa semua kenangan itu di isi kepala dan terus merenunginya bahwa kita tidak pernah bisa kembali di masa-masa indah itu. Dewasa adalah menangisi hal-hal besar, hal-hal yang bukan sekadar tentang tidak dibelikan mainan, atau menangis ketika Ibu yang padahal dengan lembutnya menegur. Dewasa adalah sekantung pikiran yang membebani pundakmu, yang kamu bawa sekantung itu kemanapun pergi. Tidak bisa untuk kamu taruh ia dientah suatu tempat, lalu merasa lega seketika. Sekantung itu adalah pikiran berisi masa depan yang harus dibeli dengan pernikahan yang biayanya memakan banyak dana, tentang tempat tinggal seperti apa yang kelak kamu tidur di dalamnya, tentang biaya sekolah yang meski mestinya pusing adalah Ibu dan Bapakmu, tetapi sebenarnya beban mereka adalah pundakmu juga.

Dewasa adalah sekantung besar pikiran yang tinggal di tempurung kepala yang sialnya wajahmu harus menutupi semua itu kepada siapapun yang kamu temui, semata-mata agar terlihat menjadi kuat dan dianggap sebagai dewasa. Adalah sekantung bawang merah yang tinggal selalu di dekat matamu dan hanya soal waktu benda itu membuatmu mengalirkan air mata. Waktu ketika sendiri, waktu ketika sepi, ketika semuanya adalah benar-benar wajahmu yang sebenarnya.

Dewasa adalah sekantung besar pikiran yang ingin sekali kamu buang.

Comments

Popular posts from this blog

Tapi, Indramayu adalah Romantisme

Dadaku pernah mendesir selagi menyaksikan rusa-rusa diberi makan oleh mereka yang berbahagia di Ranca Upas, di Bandung. Menjaring kabut di Lembang, bercengkrama dengan dingin yang menyapa sampai kulit terdalam. Aku pernah, menikmati ombak lemah-lembut di pantai di Gunung Kidul. Pasir putih dan tebing yang indahnya bukan main. Atau diterjang ombak besar di pantai Trisik, di Jogja. Memetik buah naga di sepanjang pekarangan di dekat pantainya. Menyapa angin pantai yang tiupannya membuat rambut gondrongku tertiup angin kesana-kemari. Menelusuri keraton dan bertukar cerita di salah satu angkringan di dekat alun-alun Kidul. Atau bercengkrama disela-sela belanja di pasar Beringharjo yang khasnya tak pernah lekang oleh waktu. Bersantap nasi kucing dengan lauk beberapa tusuk usus dan sate telor puyuh, dan sejuta keramahan yang tersimpan rapih di sudut-sudut kota. Bandung adalah tempat paling tepat bagi siapapun yang mau menaruh sejuta luka, melupakannya sejenak dan menikmati segala pernak-pe

Gadis Lima Belas Tahun

Lalu, gadis berumur lima belas tahun itu menghampiriku perlahan, sambil melambai manja ia menawarkan: "Dua ratus lima puluh ribu, mas." Aku hanya senyum sekadar senyum. "Umurmu berapa, dek?" "Lima belas tahun, mas." "Bukankah tak baik gadis lima belas tahun di sini?" Lalu, hening sesaat. Sesak dadaku berpikir kalau-kalau ucapanku menyinggung perasaannya. "Hidup tak hanya tentang baik dan buruk, mas. Setidaknya begitu menurut saya."

Bocah Cadel Lampu Merah - Morfem

Ku menghentikan motorku Di lampu merah selatan Jam sebelas di arloji Kurapatkanlah jaketku Dan, berkhayal telah di rumah Seorang bocah lelaki Yang belum lancar bicara Mendekati dengan senyum Dan tangan yang menengadah Sepertinya hanya itu Yang baru sempat diajarkan Oleh Ibunya Ia bermain, besar di trotoar Diterangi, hangat lampu jalan Nyanyi riuh klakson, debu Ia dibuai, caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Mendung siang hari, peluh Bermandi hujan di aspal Malam silih berganti Pasti jumpa dirinya Kini mulai bisa nyanyi Lagu yang sering di TV Walaupun cadel lidahnya Ia bermain besar di trotoar Diterangi hangat lampu jalan Ia dibuai caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Nyanyi riuh klakson, peluh Bermandi hujan di aspal Tampak ibunya bangga Di kejauhan berkipas Sambil nikmati limunnya