Skip to main content

Bocah Cadel Lampu Merah - Morfem

Ku menghentikan motorku
Di lampu merah selatan
Jam sebelas di arloji
Kurapatkanlah jaketku
Dan, berkhayal telah di rumah

Seorang bocah lelaki
Yang belum lancar bicara
Mendekati dengan senyum
Dan tangan yang menengadah

Sepertinya hanya itu
Yang baru sempat diajarkan
Oleh Ibunya

Ia bermain, besar di trotoar
Diterangi, hangat lampu jalan
Nyanyi riuh klakson, debu
Ia dibuai, caci maki merdu
Matahari, warna-warni mesin
Mendung siang hari, peluh
Bermandi hujan di aspal

Malam silih berganti
Pasti jumpa dirinya
Kini mulai bisa nyanyi
Lagu yang sering di TV
Walaupun cadel lidahnya

Ia bermain besar di trotoar
Diterangi hangat lampu jalan
Ia dibuai caci maki merdu
Matahari, warna-warni mesin
Nyanyi riuh klakson, peluh
Bermandi hujan di aspal

Tampak ibunya bangga
Di kejauhan berkipas
Sambil nikmati limunnya

Comments

Popular posts from this blog

Tapi, Indramayu adalah Romantisme

Dadaku pernah mendesir selagi menyaksikan rusa-rusa diberi makan oleh mereka yang berbahagia di Ranca Upas, di Bandung. Menjaring kabut di Lembang, bercengkrama dengan dingin yang menyapa sampai kulit terdalam. Aku pernah, menikmati ombak lemah-lembut di pantai di Gunung Kidul. Pasir putih dan tebing yang indahnya bukan main. Atau diterjang ombak besar di pantai Trisik, di Jogja. Memetik buah naga di sepanjang pekarangan di dekat pantainya. Menyapa angin pantai yang tiupannya membuat rambut gondrongku tertiup angin kesana-kemari. Menelusuri keraton dan bertukar cerita di salah satu angkringan di dekat alun-alun Kidul. Atau bercengkrama disela-sela belanja di pasar Beringharjo yang khasnya tak pernah lekang oleh waktu. Bersantap nasi kucing dengan lauk beberapa tusuk usus dan sate telor puyuh, dan sejuta keramahan yang tersimpan rapih di sudut-sudut kota. Bandung adalah tempat paling tepat bagi siapapun yang mau menaruh sejuta luka, melupakannya sejenak dan menikmati segala pernak-pe

Gadis Lima Belas Tahun

Lalu, gadis berumur lima belas tahun itu menghampiriku perlahan, sambil melambai manja ia menawarkan: "Dua ratus lima puluh ribu, mas." Aku hanya senyum sekadar senyum. "Umurmu berapa, dek?" "Lima belas tahun, mas." "Bukankah tak baik gadis lima belas tahun di sini?" Lalu, hening sesaat. Sesak dadaku berpikir kalau-kalau ucapanku menyinggung perasaannya. "Hidup tak hanya tentang baik dan buruk, mas. Setidaknya begitu menurut saya."