Skip to main content

Kereta Hari Ini

Kereta hari ini lebih bersih, lebih tertib dan tentu, lebih tertata dan rapih. Tahun ketika aku terakhir naik kereta, kereta masih dijajahi banyak sekali orang jualan. Mulai dari kopi sampai nasi goreng, mulai dari yang menjual air mineral sampai goreng-gorengan. Rame sekali.

Hari ini, ketika setelah sekian lama baru merasakan lagi menikmati duduk di kereta, aku justru rindu ketika terakhir kali merasakannya. Riuhnya pedagang kopi yang menjelajahi gerbong demi gerbong sambil menenteng termos yang bentuk dan warnanya begitu khas. Berisiknya orang berdagang gorengan menawarkan setiap bakwan, tempe goreng, tahu goreng dan berbagai macam aneka gorengan lainnya.

Gerbong ekonomi tahun-tahun itu begitu kacau dan amat sangat tidak tertib, sampai beberapa kali aku tak dapat tempat duduk. Beruntung ada kebaikan menghampiri kami waktu itu ketika semua sedang sibuk menikmati kekacauan yang terhidang di depan mata. Anak muda yang waktu itu usianya kurang-lebih seperti umurku hari ini mempersilahkan mimi untuk duduk, membuatnya malah harus berdiri berbaur dengan pedagang yang mondar-mandir, kadang kalau capek, bahkan duduk seperti ibu-ibu yang sedang melayani kopi pembeli. Mimi yang tak tega sesekali menawarkan kursinya, meski pada akhirnya ditolak.

Tahun itu rasanya obrolan mudah sekali didapat. Membeli nasi goreng saja bisa membuat akrab. Pedagang yang basa-basi atau memang ingin tau, sering sekali menanyakan daerah asal, tempat tujuan dan tujuan dari perjalanan yang sedang ditempuh. Aku, mimi dan mba kiki waktu itu, tak merasa risih samasekali, karena nyatanya, mimi juga menanyakan hal yang sama ke pedagang yang mengajaknya berbicara.

Penumpang kereta kelas ekonomi waktu itu juga saling tegur sapa. Entah karena merasa senasib tak mendapat kursi atau memang tahun-tahun itu manusia Indonesia belum begitu pedulinya dengan telepon genggam. Akrab sekali. Tak jarang, ketika turun di stasiun yang sama, kita yang sedari di kereta banyak mengobrol, sesampainya di stasiun, makan barsama atau sekadar istirahat bersama menunggu jemputan dari masing-masing kita.

Hari ini, setelah entah berapa tahun kemudian; aku naik kereta lagi. Kelas ekonomi lagi. Rasanya? Nyaman sekali. Semua penumpang mendapat tempat duduknya masing-masing. Tak ada yang mondar-mandir selain petugas kereta dan penumpang yang ke toilet. Di sudut gerbong manapun, tak ada yang jualan seperti terakhir kali aku naik kereta.

Tapi entah kenapa justru aku merasa rindu. Bukan rindu dengan segala keruwetan yang dulu dirasa selama naik kereta. Samasekali bukan. Aku rindu obrolan hangat sesama penumpang, menanyakan tujuan dan tempatku turun. Hari ini, meski duduk berhadapan, bahkan sekaligus empat orang, tak ada obrolan pembuka itu. Masing-masing dari yang kulihat, mereka memakai masker menutup mulut sampai ujung hidung di bawah kelopak mata. Penumpang perempuan di depanku anteng memakai earphone sembari memainkan tablet yang disangganya selama perjalanan dengan kedua tangan. Yang satu lagi, asik main game di smartphone-nya.

Semua orang diam, mengurus kesibukannya masing-masing. Dan aku masih menunggu ada seseorang yang membuka maskernya, menanyakan sesuatu kepadaku seperti yang satu ibu-ibu lakukan kepadaku dua puluh menit sebelum keberangkatan. "Mau kemana dek?", "Gerbong berapa?", "Oh, Lempuyangan? Deket rumah saya, nanti bareng aja turunnya", "Kuliah disana?".

Hangat.

Comments

Popular posts from this blog

Suatu Hari Anakmu

--- digubah dari tulisan Bhagavad Sambadha Suatu hari anakmu melihat seorang mahasiswa menangis di lorong gelap di salah satu gedung, setelah sebelumnya bertemu ketua dekan untuk nego bayaran kuliah. Mahasiswa itu tidak pernah sekalipun dalam hidupnya takut di-DO, ia hanya takut orang tuanya kelelahan mencari dana selagi dirinya menjadi pelajar. Suatu hari anakmu melihat bocah umur lima belas tahun bekerja siang malam demi nasi dan lauk yang dimakan oleh dirinya dan adik-adik. Di tempatnya bekerja, keringat dan air yang mengalir di wastafel di kampus anakmu belajar mungkin sama derasnya. Bocah itu tidak pernah sekalipun dalam hidupnya takut kelaparan, ia hanya takut orang tuanya kekeringan keringat selagi ia dan adik-adik asik menyantap makanan. Suatu hari anakmu melihat seorang remaja seumur SMP dan SMA menjajakan tissue di bawah lampu merah di mana orang-orang mengumpat karena panas dan dikejar waktu. Di sana, matahari bahkan lebih menakutkan dari perut kosong, karena panasnya tak bi...

KETAKUTAN ITU WAJAR

Perang Mu’tah, adalah perang yang secara rasio tak akan membuat manusia optimis apalagi yakin dengan kemenangan yang dijanjikan. Bayangkan saja, jumlah pasukan Romawi yang berkumpul pada hari itu lebih dari 200.000 tentara, lengkap dengan baju perang yang gagah, panji-panji dari kain sutra, senjata-senjata yang perkasa, lalu dengan kuda-kuda yang juga siap dipacu. Abu Hurairah bersaksi atas perang ini. ”Aku menyaksikan Perang Mu’tah. Ketika kami berdekatan dengan orang-orang musyrik. Kami melihat pemandangan yang tiada bandingnya. Jumlah pasukan dan senjatanya, kuda dan kain sutra, juga emas. Sehingga mataku terasa silau,” ujar Abu Hurairah.  Sebelum melihatnya, pasukan para sahabat yang hanya berjumlah 3.000 orang-orang beriman, sudah mendengar kabar tentang besarnya pasukan lawan. Sampai-sampai mereka mengajukan berbagai pendapat, untuk memikirkan jalan keluar. Ada yang berpendapat agar pasukan Islam mengirimkan surat kepada Rasulullah saw, mengabarkan jumlah mu...

Di Stasiun

Di stasiun, orang-orang berkumpul, saling berpelukan, cium-cium kecil pipi atau kening masing-masing dari mereka, atau yang paling sederhana, sekedar salaman penuh makna. Semuanya melepas rindu, sebelum waktu merenggutnya. Lempuyangan, 2018