Skip to main content

Pulang, Rumah dan Luka

Yang aku tau, tiap orang punya lukanya masing-masing. Entah besar menganga atau sekecil titik setelah kalimat atau kata, ditambalnya luka itu dengan senyuman palsu di bibir, semata-mata agar semuanya menjadi lebih baik, semata-mata agar semuanya terlihat baik-baik saja.

Aku masih menghisap sebatang rokok yang ujungnya sudah abis terlumat api, apinya terus menggerus sampai hanya menyisakan setengah badan rokok ketika aku memberanikan diri menghampiri perempuan yang duduk diujung tempat di terminal tempat aku menunggu tumpangan. Lelah jelas terlihat dari keningnya yang sedikit berkeringat, tas besar di sampingnya menandakan ia akan pergi ke suatu tempat, entah kemana.

"Lagi nunggu, mba?" Obrolan yang jelas basa-basi, adzan maghrib beberapa saat akan terdengar dari sudut musholla di samping kios para pedagang. Tak ada maksud apapun, murni obrolan pembuka, aku butuh lawan bicara.

"Iya", jawaban singkat yang dengan segera disusul senyum dari bibir perempuan, wajahnya perlahan ditutup gelap, senja pamit undur diri, lampu-lampu terminal mulai menyala dari sudut ke sudut. Aku mencoba ramah, mendengar apapun yang keluar dari bibirnya untuk menanggapi pertanyaan dan pernyataanku.

"Mau pulang?"

"Saya bahkan lupa makna pulang". Aku tertegun, sejauh sampai di sini, aku bersemangat sekali setiap ada kesempatan untuk pulang. Karena itu artinya, aku bisa mencium tangan kanan Ibu, berpelukan dengan tubuhnya yang dari tahun ke tahun mulai ku balap tinggi tubuhnya. Pulang bagiku adalah juga bertemu ayah, bertukar cerita dan pengalaman selama aku jauh darinya.

Setiap teman yang aku tanya pulang, mereka akan riang menceritakan tentang pulang, termasuk aku. Aku akan menceritakan makna pulangku sendiri dengan senang hati kepada siapapun yang bertanya tentang itu. Pulang bagiku, punya banyak sekali makna. Pulang adalah perjalanan khusyu menuju rumah, menghangatkan badan setelah sekian lama bertarung dengan dinginya keadaan, demi meraih sesuatu yang harus menjadi kenyataan. Pulang adalah pulang, kata dengan sejuta makna. Setidaknya, itu yang aku tahu sebelum perempuan di depanku menghancurkan sejuta bayangan khusyu tentang pulang.

"Pulang ke rumah, maksudnya?"

"Saya bahkan lupa kalau saya pernah punya rumah."

"Maaf ya sebelumnya, tapi kenapa?"

"Dik, kamu pernah tidak? Merasa pergi jauh dari rumah? Atau dari apapun sesuatu yang kamu anggap sebagai rumah. Kamu berjalan entah kemana, menyusuri setiap jalan yang kamu anggap sebagai jalan menuju cita-cita dan harapanmu. Lelah dan luka sudah pasti kamu rasakan. Dan pulang adalah sebaik-baiknya penawar atau bahkan obat bagi setiap lukamu.

Dan diantara capekmu itu, pulang adalah waktu yang kamu tunggu. Setelah entah sekian luka, kamu akhirnya bisa merebahkan badan lelahmu di kasur yang spreinya dipasang oleh ibumu, yang setiap jengkal kasur selalu memberi kehangatan bagi pundak, punggung dan kaki-kakimu yang entah sudah berapa langkah ia ayunkan demi cita-cita dan harapanmu.

Saat-saat seperti itu, pulang adalah hal terbaik yang bisa kamu lakukan. Mencium tangan kanan ibumu, memeluk tubuh bapakmu yang kian hari tampaknya tak lagi kekar. Pulang ke tempat asalmu. Tempat kenangan-kenangan masa kecil dan semua awal dari cerita-cerita perjalananmu. Mencium lagi aroma masakan ibu di pagi hari, suasana shubuh lengkap dengan suara adzan dan bau embun, kadang jika beruntung, kepulanganmu bertepatan dengan musim hujan dan kamu bisa mencium petrichor dari rintik hujan yang turun ketika malam sebelum shubuh. Saya pernah merasakan itu. Indah dan tak ada sesuatu apapun yang bisa membayarnya. Merasakan bahwa pulang adalah bagian terbaik dari hidup yang sedang saya jalani.

Saya pernah, dan sebetulnya masih, dan akan selalu sampai kapanpun, mencintai rumah. Mencintai bangunan tempat tangis dan tawa yang sudah saya rasakan dari saya kecil. Rumah, adalah tempat paling ajaib yang pernah saya terima dari Tuhan. Bagaimana tidak ajaib? Berjam-jam sebelum sampai rumah, saya sudah kelelahan karena lain hal, ditambah perjalanan dan sebagainya, lalu tiba-tiba, ketemu Ibu yang dengan senyumnya menyapa saya di beranda membuat saya seketika tak lagi mengenal lelah. Ajaib.

Rumah, yang sudut-sudut kamarnya mengingatkan saya tentang setiap rengekan khas anak kecil ketika menangis tak dibelikan mainan, yang setiap sudut didalamnya mengingatkan saya tentang memori yang tak bisa diulang. Indah dan jelas tak ada yang lebih indah.

Menyantap makanan ibu, sayur asem, lalapan dan sambal yang enaknya tak pernah berubah semenjak saya SD. Ditemani ayah dan anak-anaknya yang lain, yang sekaligus kakak-kakakku juga, menyantap yang tersaji di depan mata dengan obrolan-obrolan ringan seputar kejadian yang dialami masing-masing dari kita.

Tentu, kita pasti merasakan hal yang sama. Mengenal makna pulang dengan maknanya masing-masing.

Saya pergi jauh sekali, menapaki  perjalanan yang sudah semestinya saya lalui, demi cita-cita dan harapan masa kecil saya. Meninggalkan rumah yang sedari saya kecil sudah saya cintai dengan baik, juga meninggalkan Ibu dan Bapak saya di dalamnya. Entah, saya tak pernah hafal sejauh mana saya pergi dari rumah. Setiapkali ada kesempatan pulang, saya bergegas dengan sigap untuk pulang. Selalu saya sempatkan diri untuk menilik rumah, bernostalgia dan bercengkrama dengan Ibu, juga Bapak.

Saya senang bukan main setiap kali mendengar rumah dan pulang. Sampai pada entah pulang yang keberapa, semuanya tak lagi disana. Kosong dan hampa. Rumah yang saya rawat dan saya sayangi betul-betul sedari saya kecil, tiba-tiba tak ada lagi disana. Rumah itu tak ada lagi.

Yang ada hanya bangunan rumah, sedangkan bagi saya, rumah bukan tentang bangunan. Rumah adalah tentang kehangatan dan sekotak besar kenangan yang tinggal didalamnya. Rumah itu memang masih berdiri kokoh, tak ada yang berubah. Satu-satunya yang berubah adalah rumah itu bukan lagi milik kami, bukan lagi milik keluarga. Rumah menjadi milik orang lain. Ibu dan Bapak tak ada lagi di beranda ketika saya tiba pukul delapan. Semua sudah lenyap.

Sudah tak ada lagi sesuatu yang membuat saya pulang, kecuali Ibu dan Bapak yang pindah ke rumah yang bukan milik kami dan saya menganggapnya bukan rumah. Saya cuma punya satu rumah dan hari ini, rumah itu sudah menjadi milik orang lain."

Aku menghela nafas panjang. Tak pernah sedikitpun aku berpikir, perempuan seusia kakakku yang duduk diam, yang tadinya kupikir sekedar duduk menunggu maghrib atau menunggu tumpangan datang ternyata memiliki kehilangan sedalam itu. Hening sesaat. Diam begitu dalam. Aku tertegun mematung, bingung harus mengucap apa.

Lalu setelah semuanya yang begitu sepi, kuberanikan diri bertanya lagi.

"Setelah itu, mba ngga lagi pulang?"

"Tak ada lagi pulang. Saya dua kali menilik Ibu dan Bapa, tak mungkin saya meninggalkan mereka, sendiri dalam keterpurukannya. Dan itu tak pernah saya anggap sebagai pulang, karena semenjak semua kehilangan itu, tak ada lagi pulang. Yang saya lakukan hanya menilik, bukan pulang, bukan samasekali. Dan sepanjang perjalanan penuh dengan tangis, sendu dan kosong. Saya mati rasa semenjak itu.

Semenjak itu, banyak yang datang menasehati, memberi kata manis tentang tabah dan kesabaran. Tapi yang mereka tak pernah tau, semenjak itu pula, saya membenci nasehat, membenci kata-kata."

Aku diam lagi beberapa saat. Menenangkan hatiku yang belum siap mendengar semuanya. Sebelum pada akhirnya aku beranikan diri sekali lagi, menanya sesuatu ke perempuan yang tatap matanya entah kemana.

"Terus setelah semua ini, setelah mba disini. Mba, mau kemana?"

"Kehilangan rumah adalah patah hati terhebat, paling perih dan sakit yang pernah saya alami. Tak perlu kamu bayangkan. Dan seperti umumnya patah hati, saya juga punya luka dari itu semua. Menganga besar, dan setiap kali tersiram rindu, lukanya semakin membesar dan membusuk. Dan umumnya juga setiap luka, butuh waktu untuk sembuh. Atau setidaknya, untuk meredakan."

"Ngga mau berdamai dengan keadaan?" Tanyaku lagi, entah aku tak pernah paham kenapa aku selancang hari itu.

"Dengan bertemu Ibu, juga Bapak, saya merasa sudah mencoba untuk berdamai dengan keadaan. Tapi, berdamai dengan keadaan bukan berarti menghilangkan luka. Semuanya butuh waktu, dan hari ini, saya memutuskan untuk memulai. Pergi entah kemana, menghabiskan banyak waktu, demi luka yang butuh diobati."

"Bukankah itu namanya lari?" Saya bertanya semakin lancang. Perempuan di disamping saya tetap dengan tatap kosong matanya. Entah mengarah kemana, yang pasti, sepanjang cerita, matanya berkaca-kaca, menahan segala air mata diujung kelopak matanya agar tak tumpah.

Adzan berkumandang dan aku mengingat kenangan shalat berjamaah di rumah, di ruang tengah dengan Ibu dan Ayah. Entah mengapa, aku yakin sekali perempuan di sampingku merasakan hal yang sama.

"Lari dari apa? Saya tetap menilik Ibu dan Bapak. Saya tak pernah pergi dari mereka. Yang berbeda adalah, saya tak pernah lagi pulang."

Aku menunduk. Senja sudah benar-benar memudar, seakan malu karena sinarnya tidak bisa memberikan apapun kepada perempuan di samping kanan saya. Terminal semakin terang karena lampu-lampu sudah semua menyala. Dan ternyata, itu semua tak mengubah apapun.

Kesedihan itu aku lihat masih di sana, tepat di mata sayu perempuan yang baru aku temui beberapa saat yang lalu. Aku duduk diam, beberapa orang shalat berjamaah, beberapa yang lain tetap berjualan, beberapa yang lain tetap menjadi pembeli. Orang-orang membersihkan tumpangan, yang lain turun dari tumpangan, karena sudah menemui tujuan. Semua berjalan seperti sediakala, dan kesedihan itu tetap disana.

Aku beberapa kali menatap matanya. Mata sayu yang dengan melihatnya saja sudah tergambar segala perih dan luka hatinya. Semua berjalan alamiah. Dan kesedihan tak pernah kenal waktu. Dan kesedihan itu, sekali lagi, masih tetap di sana. Di mata sayu itu, gelap dan kosong.

Comments

Popular posts from this blog

Tapi, Indramayu adalah Romantisme

Dadaku pernah mendesir selagi menyaksikan rusa-rusa diberi makan oleh mereka yang berbahagia di Ranca Upas, di Bandung. Menjaring kabut di Lembang, bercengkrama dengan dingin yang menyapa sampai kulit terdalam. Aku pernah, menikmati ombak lemah-lembut di pantai di Gunung Kidul. Pasir putih dan tebing yang indahnya bukan main. Atau diterjang ombak besar di pantai Trisik, di Jogja. Memetik buah naga di sepanjang pekarangan di dekat pantainya. Menyapa angin pantai yang tiupannya membuat rambut gondrongku tertiup angin kesana-kemari. Menelusuri keraton dan bertukar cerita di salah satu angkringan di dekat alun-alun Kidul. Atau bercengkrama disela-sela belanja di pasar Beringharjo yang khasnya tak pernah lekang oleh waktu. Bersantap nasi kucing dengan lauk beberapa tusuk usus dan sate telor puyuh, dan sejuta keramahan yang tersimpan rapih di sudut-sudut kota. Bandung adalah tempat paling tepat bagi siapapun yang mau menaruh sejuta luka, melupakannya sejenak dan menikmati segala pernak-pe

Gadis Lima Belas Tahun

Lalu, gadis berumur lima belas tahun itu menghampiriku perlahan, sambil melambai manja ia menawarkan: "Dua ratus lima puluh ribu, mas." Aku hanya senyum sekadar senyum. "Umurmu berapa, dek?" "Lima belas tahun, mas." "Bukankah tak baik gadis lima belas tahun di sini?" Lalu, hening sesaat. Sesak dadaku berpikir kalau-kalau ucapanku menyinggung perasaannya. "Hidup tak hanya tentang baik dan buruk, mas. Setidaknya begitu menurut saya."

Bocah Cadel Lampu Merah - Morfem

Ku menghentikan motorku Di lampu merah selatan Jam sebelas di arloji Kurapatkanlah jaketku Dan, berkhayal telah di rumah Seorang bocah lelaki Yang belum lancar bicara Mendekati dengan senyum Dan tangan yang menengadah Sepertinya hanya itu Yang baru sempat diajarkan Oleh Ibunya Ia bermain, besar di trotoar Diterangi, hangat lampu jalan Nyanyi riuh klakson, debu Ia dibuai, caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Mendung siang hari, peluh Bermandi hujan di aspal Malam silih berganti Pasti jumpa dirinya Kini mulai bisa nyanyi Lagu yang sering di TV Walaupun cadel lidahnya Ia bermain besar di trotoar Diterangi hangat lampu jalan Ia dibuai caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Nyanyi riuh klakson, peluh Bermandi hujan di aspal Tampak ibunya bangga Di kejauhan berkipas Sambil nikmati limunnya