Skip to main content

Ternyata Kamu

Aku tak pernah menduga jika perkenalan sederhana kita membuat kita menjadi lebih dekat, sangat dekat. Aku tak pernah menduga bahwa kamulah yang ternyata menemaniku kemanapun yang aku mau, tak jarang atau mungkin memang setiap saat menghiburku.

Aku terkejut melihat kita telah melewati cukup banyak fase dan masa dalam perkenalan kita yang berujung pada rasa takut akan kehilangan. Kamu yang sepertinya baru kemarin kutatap, tak kusangka sudah sejauh ini menemaniku berlari. Sudah berapa kilometerkah kita menempuh perjalanan?

Kamu yang tak pernah goyah atau runtuh harapan oleh kabar kabar miring tentangku. Kamu yang tetap setia meski sesuatu yang tak mudah selalu datang dengan rutin. Kamu yang tetap sabar menunggu kabar, tetap sabar menunggu waktu untuk bertemu tak kusangka menjadi perempuan yang paling aktif memberi penghiburan dibawah level setelah ibuku.

Ternyata kamulah, perempuan pengertian yang selama ini ada untukku. Kapanpun. Perempuan yang amat jarang sekali marah untuk hal hal kecil. Perempuan yang tak pernah kudengar dari mulutnya sesuatu yang menyakitiku. Ternyata kamu, perempuan yang selama ini ada bersamaku adalah perempuan yang selama ini kucari dalam sendu.

Aku menghormati perkenalan kita yang diawali rasa canggung untuk memulai. Aku menghormati, sesuatu yang menjadi awal dari segala hal tentangmu. Aku tak akan lupa. Tak akan pernah lupa oleh cara Tuhan mempertemukan kita.

Comments

Popular posts from this blog

Gadis Lima Belas Tahun

Lalu, gadis berumur lima belas tahun itu menghampiriku perlahan, sambil melambai manja ia menawarkan: "Dua ratus lima puluh ribu, mas." Aku hanya senyum sekadar senyum. "Umurmu berapa, dek?" "Lima belas tahun, mas." "Bukankah tak baik gadis lima belas tahun di sini?" Lalu, hening sesaat. Sesak dadaku berpikir kalau-kalau ucapanku menyinggung perasaannya. "Hidup tak hanya tentang baik dan buruk, mas. Setidaknya begitu menurut saya."

Tapi, Indramayu adalah Romantisme

Dadaku pernah mendesir selagi menyaksikan rusa-rusa diberi makan oleh mereka yang berbahagia di Ranca Upas, di Bandung. Menjaring kabut di Lembang, bercengkrama dengan dingin yang menyapa sampai kulit terdalam. Aku pernah, menikmati ombak lemah-lembut di pantai di Gunung Kidul. Pasir putih dan tebing yang indahnya bukan main. Atau diterjang ombak besar di pantai Trisik, di Jogja. Memetik buah naga di sepanjang pekarangan di dekat pantainya. Menyapa angin pantai yang tiupannya membuat rambut gondrongku tertiup angin kesana-kemari. Menelusuri keraton dan bertukar cerita di salah satu angkringan di dekat alun-alun Kidul. Atau bercengkrama disela-sela belanja di pasar Beringharjo yang khasnya tak pernah lekang oleh waktu. Bersantap nasi kucing dengan lauk beberapa tusuk usus dan sate telor puyuh, dan sejuta keramahan yang tersimpan rapih di sudut-sudut kota. Bandung adalah tempat paling tepat bagi siapapun yang mau menaruh sejuta luka, melupakannya sejenak dan menikmati segala pernak-pe

Bocah Cadel Lampu Merah - Morfem

Ku menghentikan motorku Di lampu merah selatan Jam sebelas di arloji Kurapatkanlah jaketku Dan, berkhayal telah di rumah Seorang bocah lelaki Yang belum lancar bicara Mendekati dengan senyum Dan tangan yang menengadah Sepertinya hanya itu Yang baru sempat diajarkan Oleh Ibunya Ia bermain, besar di trotoar Diterangi, hangat lampu jalan Nyanyi riuh klakson, debu Ia dibuai, caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Mendung siang hari, peluh Bermandi hujan di aspal Malam silih berganti Pasti jumpa dirinya Kini mulai bisa nyanyi Lagu yang sering di TV Walaupun cadel lidahnya Ia bermain besar di trotoar Diterangi hangat lampu jalan Ia dibuai caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Nyanyi riuh klakson, peluh Bermandi hujan di aspal Tampak ibunya bangga Di kejauhan berkipas Sambil nikmati limunnya