Skip to main content

Ramadhan

Aku masih diluar ketika ramadhan menyapaku, memberikan kenikmatan kenimatannya selama sebulan kepadaku.

Tak peduli ramadhan datang pada bulan apa, tanggal berapa, aku selalu suka. Ramadhan memberi segalanya yang kubutuhkan, memberi apapun yang aku inginkan. Ramadhan selalu bisa membuatku tenang, seakan ia mengerti apa yang harus dihadirkan untuk hati yang sedang bimbang, yang sedang senang, yang sedang galau, ramadhan selalu mengerti segala jenis perasaan.

Ramadhan, tujuh hari menjelang kau hilang, tujuh hari menjelang kau pergi, aku ingin berbagi cerita.

Ramadhan, warna warna indah seketika datang, bersamaan dengan hari awal puasa, bersamaan dengan kau datang. Ramadhan, kata pengganti untuk bulan penuh ujian, bulan penuh rahmatan dan bulan segala bulan yang penuh pengampunan.

Wanginya berbeda dengan bulan bulan sebelum Ramadhan, khas. Warung warung makan lebih sopan, menutup tempatnya dengan gorden, membuat siapapun yang tak puasa tak perlu malu dilihat orang, juga dengan pemilik warung, ia tetap bisa mencari sesuap nasi lewat nasi yang ia jajakan.

Ramadhan membawa segalanya, orang orang menjadi lebih ramah, lebih banyak senyuman, semua terbius dengan indahnya ramadhan.

Di tempatku lebih menarik, wayang orang dimana mana, pemuda pemuda yang tak puasa menghibur mereka yang sedang lemas menahan lapar. Lantas dipentaskan di beranda rumah orang orang, mereka berkeliling dari desa ke desa, sembarang saja.

Lalu yang peduli memberi mereka minum, makan, uang, beras, apa saja. Seakan manusia manusia di bulan ramadhan bukanlah manusia dibulan sebelumnya, manusia dibulan ramadhan adalah mereka yang berubah menjadi lebih baik, lebih peduli, lebih peka kepada lingkungannya.

Ramadhan begitu menarik, indah tak terbayarkan. Orang orang pulang ke asal dimana mereka dilahirkan, pulang kampung. Ramadhan membuat pekerjaan manusia manusia ditempatku menjadi libur, sekolah libur juga, menarik. Lalu mereka berbondong bondong pulang ke keluarganya masing masing, bertemu manusia manusia yang paling menyayangi mereka, saling bermaaf, saling berbagi, lalu berbagi bahagia, kumpul bersama sama.

Ramadhan membungkus semuanya, kebahagiaan, suka cita, sedih, dibungkus semuanya menjadi lebih indah, indah tak terbayar.

Dan ramadhan, semoga dengan segala kebaikanmu, aku tumbuh menjadi manusia yang lebih baik, yang lebih bisa berbuat kebaikan, lebih mudah ringan tangan membantu siapapun.

Ramadhan, aku berdoa semoga setiap tahun selalu bisa menemuimu dengan aku yang terus menjadi lebih baik.

Sampai bertemu tahun depan, Insya Allah, Ramadhan.

Comments

Popular posts from this blog

Tapi, Indramayu adalah Romantisme

Dadaku pernah mendesir selagi menyaksikan rusa-rusa diberi makan oleh mereka yang berbahagia di Ranca Upas, di Bandung. Menjaring kabut di Lembang, bercengkrama dengan dingin yang menyapa sampai kulit terdalam. Aku pernah, menikmati ombak lemah-lembut di pantai di Gunung Kidul. Pasir putih dan tebing yang indahnya bukan main. Atau diterjang ombak besar di pantai Trisik, di Jogja. Memetik buah naga di sepanjang pekarangan di dekat pantainya. Menyapa angin pantai yang tiupannya membuat rambut gondrongku tertiup angin kesana-kemari. Menelusuri keraton dan bertukar cerita di salah satu angkringan di dekat alun-alun Kidul. Atau bercengkrama disela-sela belanja di pasar Beringharjo yang khasnya tak pernah lekang oleh waktu. Bersantap nasi kucing dengan lauk beberapa tusuk usus dan sate telor puyuh, dan sejuta keramahan yang tersimpan rapih di sudut-sudut kota. Bandung adalah tempat paling tepat bagi siapapun yang mau menaruh sejuta luka, melupakannya sejenak dan menikmati segala pernak-pe

Gadis Lima Belas Tahun

Lalu, gadis berumur lima belas tahun itu menghampiriku perlahan, sambil melambai manja ia menawarkan: "Dua ratus lima puluh ribu, mas." Aku hanya senyum sekadar senyum. "Umurmu berapa, dek?" "Lima belas tahun, mas." "Bukankah tak baik gadis lima belas tahun di sini?" Lalu, hening sesaat. Sesak dadaku berpikir kalau-kalau ucapanku menyinggung perasaannya. "Hidup tak hanya tentang baik dan buruk, mas. Setidaknya begitu menurut saya."

Bocah Cadel Lampu Merah - Morfem

Ku menghentikan motorku Di lampu merah selatan Jam sebelas di arloji Kurapatkanlah jaketku Dan, berkhayal telah di rumah Seorang bocah lelaki Yang belum lancar bicara Mendekati dengan senyum Dan tangan yang menengadah Sepertinya hanya itu Yang baru sempat diajarkan Oleh Ibunya Ia bermain, besar di trotoar Diterangi, hangat lampu jalan Nyanyi riuh klakson, debu Ia dibuai, caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Mendung siang hari, peluh Bermandi hujan di aspal Malam silih berganti Pasti jumpa dirinya Kini mulai bisa nyanyi Lagu yang sering di TV Walaupun cadel lidahnya Ia bermain besar di trotoar Diterangi hangat lampu jalan Ia dibuai caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Nyanyi riuh klakson, peluh Bermandi hujan di aspal Tampak ibunya bangga Di kejauhan berkipas Sambil nikmati limunnya