Skip to main content

Makhluk Macam Apa Aku Ini?

Tuhan sudikah Engkau membuatkan aku tempat di kehidupan yang abadi itu, tempat sekedar untuk aku berteduh dari dinginnya hati yang membeku. Tempat aku berlindung dari panasnya percikan api yang paling api nerakamu. Tempat aku bersembunyi dari jiwaku yang selalu kuajak menjauh dan menjauh dari jalanMu.

Akankah ada tempat untukku, Tuhan?

Tempat untuk manusia yang tak pernah dekat dengan tempat ibadah. Tempat untuk manusia yang tak pernah kenal sembahyang, yang tak pernah mengangkat tangan untuk berdoa. Tempat untuk manusia seangkuh-angkuhnya manusia.

Akankah sampai pada waktunya, masih bisa aku menunduk malu dihadapanMu?

Disaat yang lain sibuk berlomba-lomba bersujud dihadapanMu. Atau ketika hambaMu yang lain sibuk menghitung berapa jumlah sedekah dan harta yang harus disumbang untuk yang lebih membutuhkan, aku masih sibuk menangisi diri sendiri. Aku masih memukul-mukul sekaligus meremas-remas kepala, kesal dengan diri sendiri, ketika hambamu yang lain berlalu-lalang pergi ke masjid.

Sampai disini, terlambatkah aku bersujud bersimpuh dihadapanMu?

Aku merasa menjadi hambaMu yang hina. Pikiran tak pantas untuk manjadi hambaMu selalu melintas. Aku begitu sombong, begitu angkuh.

Makhluk macam apa aku ini, Tuhan?

Comments

Popular posts from this blog

Gadis Lima Belas Tahun

Lalu, gadis berumur lima belas tahun itu menghampiriku perlahan, sambil melambai manja ia menawarkan: "Dua ratus lima puluh ribu, mas." Aku hanya senyum sekadar senyum. "Umurmu berapa, dek?" "Lima belas tahun, mas." "Bukankah tak baik gadis lima belas tahun di sini?" Lalu, hening sesaat. Sesak dadaku berpikir kalau-kalau ucapanku menyinggung perasaannya. "Hidup tak hanya tentang baik dan buruk, mas. Setidaknya begitu menurut saya."

Tapi, Indramayu adalah Romantisme

Dadaku pernah mendesir selagi menyaksikan rusa-rusa diberi makan oleh mereka yang berbahagia di Ranca Upas, di Bandung. Menjaring kabut di Lembang, bercengkrama dengan dingin yang menyapa sampai kulit terdalam. Aku pernah, menikmati ombak lemah-lembut di pantai di Gunung Kidul. Pasir putih dan tebing yang indahnya bukan main. Atau diterjang ombak besar di pantai Trisik, di Jogja. Memetik buah naga di sepanjang pekarangan di dekat pantainya. Menyapa angin pantai yang tiupannya membuat rambut gondrongku tertiup angin kesana-kemari. Menelusuri keraton dan bertukar cerita di salah satu angkringan di dekat alun-alun Kidul. Atau bercengkrama disela-sela belanja di pasar Beringharjo yang khasnya tak pernah lekang oleh waktu. Bersantap nasi kucing dengan lauk beberapa tusuk usus dan sate telor puyuh, dan sejuta keramahan yang tersimpan rapih di sudut-sudut kota. Bandung adalah tempat paling tepat bagi siapapun yang mau menaruh sejuta luka, melupakannya sejenak dan menikmati segala pernak-pe

Bocah Cadel Lampu Merah - Morfem

Ku menghentikan motorku Di lampu merah selatan Jam sebelas di arloji Kurapatkanlah jaketku Dan, berkhayal telah di rumah Seorang bocah lelaki Yang belum lancar bicara Mendekati dengan senyum Dan tangan yang menengadah Sepertinya hanya itu Yang baru sempat diajarkan Oleh Ibunya Ia bermain, besar di trotoar Diterangi, hangat lampu jalan Nyanyi riuh klakson, debu Ia dibuai, caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Mendung siang hari, peluh Bermandi hujan di aspal Malam silih berganti Pasti jumpa dirinya Kini mulai bisa nyanyi Lagu yang sering di TV Walaupun cadel lidahnya Ia bermain besar di trotoar Diterangi hangat lampu jalan Ia dibuai caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Nyanyi riuh klakson, peluh Bermandi hujan di aspal Tampak ibunya bangga Di kejauhan berkipas Sambil nikmati limunnya