Skip to main content

Apa kabar, pa?

Pa, apa kabar? Seperti do'aku selalu, semoga papa selalu diberi sehat dan keteguhan hati ya, pa.

Aku menulis ini setelah baru saja menyelesaikan tugas mata kuliah Internet dan Teknologi WEB. Aku duduk dipinggir jendela di lantai 6, gedung C. Aku sedang menikmati Bandung yang penuh dengan kabut melalui jendela didepanku. Aku terpaku melihat kota ini dari atas.

Papa sedang apa di rumah sana?
Hari ini, aku lelah sekali, pa. Tugas dan peralatan makrab belum kuselesaikan, badan sedikit meriang --mungkin karena aku belum terbiasa dengan dinginnya Bandung, juga tubuhku pegal-pegal. Banyak hal ingin kuceritakan, beban ini begitu berat, pa. Sekolahku yang swasta, bayaran dpp yang bagi kita mahalnya luar biasa, kadang membuatku khawatir, apa mampu aku membayar rupiah-rupiah itu dengan sesuatu yg setimpal? Atau jangan-jangan, aku hanya akan memberatkan pundakmu?

Di usia papa yang sudah menua, oleh karena aku, papa masih harus memikirkan bagaimana membayar biaya sekolah. Belum lagi, biaya bayar kos dan jatah jajanku tiap bulan.

Delapan belas juta pertahun untuk dppku, sekian juta pertahun untuk bayar kos, dan sekian perbulan untuk biaya makan jelas bukan angka yang sedikit. Apalagi, di umur papa yang mau menginjak 60. Idealnya, diusia papa, papa lebih santai menikmati sore-sore bareng keponakan-keponakanku. Menggendong dede Gio, melihat Imran berlarian bareng mba Cantik, atau sekedar menanyakan pelajaran ke Miko, Agis.

Kadang, pa, aku malu dengan keponakan-keponakanku itu. Aku yang sudah sebesar ini masih membuatmu khawatir, masih sering membuatmu sakit hati. Aku yang kadang lepas kontrol dan tak bisa menjaga diri, seringkali kali membuatmu mengelus dada. Bahkan, sering aku keras kepala tak pernah mendengar nasehat-nasehat baikmu. Sering pa, tak pernah bisa kuhitung berapa kali aku salah melangkah. Sering aku mendebat kata-katamu. Sering sekali aku tak bisa menahan emosiku--lupa bahwa jelas kau lebih tau segalanya ketimbang aku.

Hari ini, pa, diatas gedung menjelang maghrib ini, semua dosa-dosa ku pada papa jelas sekali melintas dalam pikiranku. Kesalahan terbesar dalam hidupku bahwa aku pernah membencimu. Membenci karena satu kesalahanmu bertahun-tahun silam. Lupakah, aku pa, bahwa papa juga manusia? Naif sekali rasanya memandang papa harus tanpa kesalahan. Terlalu egois rasanya tak memaklumi kesalahan papa sebagai manusia biasa yang tak selalu benar. Aku terlalu lambat tahun-tahun itu untuk menyadari hal sesederhana itu pa, maafkan aku. Aku lambat sekali tahun-tahun itu untuk berdamai dengan keadaan.

Pernah aku sampai adu mulut denganmu, pa. Pernah aku pa, sampai hampir main tangan dengan tubuhmu yang sudah renta itu. Sesuatu yang paling bodoh yang pernah dilakukan anak yang tak tau apa-apa sepertiku. Tapi pa, kenapa selalu tak pernah kau lawan aku? Bukankah mudah untukmu menampar tubuh kecilku? Bukankah seharusnya gampang untukmu membalas ocehanku yang tak punya makna itu? Papa kan sarjana, sudah diuji melalui karya ilmiah dan tentu sudah melewati banyak sekali fase kehidupan, bukan hal yang sulit untuk papa membalas kata-kata tak jelasku, kan? Tapi, kenapa yang papa lakukan cuma diam? Papa cuma menundukkan kepala setiap kali aku marah. Papa cuma meninggalkanku setiap kali aku ngoceh tak jelas. Kenapa papa selalu mengalah?

Tapi pada akhirnya aku sadar kesalahanku. Tuhan, kebodohan macam apa yang aku punya sampai hari-hari itu tak bisa ku tangkap kerendahan hati papa? Bukan karena papa tak mampu untuk melawanku, samasekali bukan. Hari ini aku paham, papa hanya tak mau melukai dirinya sendiri dengan cara melukaiku. Tapi pernahkah aku berpikir seperti itu ketika melawan kata-kata papa? Samasekali tidak.

Menjelang Maghrib ini, melalui tulisan ini, aku dengan tulus ingin minta maaf kepadamu, pa.

Maafku untuk segala kebodohan dan kecerobohanku.

Menjelang maghrib seperti ini, biasanya di rumah, papa sedang santai menikmati senja di beranda rumah. Masih kan, pa kebiasaan itu?
Hari ini, aku cuma bisa menatap rumah-rumah warga bandung disekitar Setiabudhi-Ledeng pa. Tak bisa aku menemanimu menyiram tanaman-tanaman kita, tak bisa aku menemanimu membaca buku-buku kesayanganmu, aku juga sedang tak bisa berjamaah denganmu Maghrib ini, pa.

Mimi apa kabar pa? Semoga selalu sehat juga ya. Maghrib begini, biasanya mimi sedang sibuk-sibuknya. Menyidiakan air hangat untuk mandi, menghangatkan makanan untuk kita makan malam nanti, atau kegiatan yang paling santai, biasanya mimi main di tetangga depan rumah kita. Masih seperti itukan, pa?

Soal kuliahku itu, pa. Aku harus bersyukur sekali bahwa papa begitu peduli dengan pendidikan-ku. Saking pedulinya denganku, papa bahkan sampai tak pernah peduli dengan tabungan papa. Pa, bagaimana kalau aku cuma menghabiskan tabungan papa? Bagaimana kalau aku pada akhirnya hanya berujung mengecewakan papa?

Seperti pada barisan pertama tulisan ini, aku risau sekali pa. Aku merasa kerdil dan rendah diri dengan teman-teman baruku disini. Mereka lulusan terbaik dari sekolah-sekolah terbaik semasa mereka SMA dulu. Sedang aku? Seperti yang papa tau, aku cuma pemalas yang nakal. Sering pulang malam dan salah pergaulan. Mereka menghabiskan malam-malam dengan komputer mereka ketika aku sedang asik nongkrong. Jadi pa, ketika aku masuk kesini, mereka sudah bisa segalanya ketimbang aku.

Itu yang membuat dadaku berdesir setiap kali papa, diujung telepon menanyakan kuliahku. Berkecamuk pertanyaan-pertanyaan itu menghantui pikiranku pa, "Apa aku bisa?"

Dan seperti biasa, setelah obrolan ringan kita dan berbagai pertanyaan papa k diujung telepon itu, papa selalu menutupnya dengan kata-kata yang begitu khas sekali di telingaku, "Jangan lupa berdo'a nggih." Pa, selain do'a apalagi yang aku punya? Aku pas-pasan dalam studi, aku juga kalah kerja keras dengan mereka.

Entahlah pa, aku merasa resahku bahkan bisa mengalahkan kokohnya gedung 7 lantai ini. Mataku berkaca-kaca setiap kali mendengar suara papa diujung telepon itu. Mimi, papa, selalu bisa membuatku seperti bukan lelaki. Aku terlalu melankolis, entahlah apa itu namanya. Tapi yang pasti, diatas resahku itu, aku begitu mengkhawatirkan papa. Percayalah.

Beban ini sekarang ada dipundakku pa, berat sekali. Tapi aku harus paham, beban papa untukku lebih dari itu. Aku harus paham bahwa tak mudah memenuhi kebutuhan kuliahku, memenuhi kebutuhan hidupku. Jadi jelas sudah, tak ada alasan apapun untuk aku menyia-nyiakan letihmu itu.

Pa, terimakasih ya untuk sore-sore yang penuh dengan kenangan itu. Sore ketika papa mengajariku untuk memahami pitutur jawa, sore ketika kita membahas masa depan di beranda rumah yang punya banyak cerita manis itu, sore ketika kita menyiram tanaman-tanaman di latar rumah kesayangan kita itu, sore ketika aku asik membaca novel-novel Andrea Hirata dan papa sibuk memberi pakan perkutut-perkutut kesayangan papa, sore ketika papa dengan riangnya melihat tanaman suruh papa tumbuh menutupi pot bunga, sore ketika kita ngumpul, aku, mimi dan papa. Sore-sore yang selalu aku rindu untuk sampai kapanpun waktunya.

Waktu begitu cepat berlalu ya, pa. Tanpa terasa anak bungsumu sudah beranjak dewasa. Bungsu yang dulu selalu kau peluk ketika menangis merengek minta mainan baru, bungsu yang selalu kau nyanyikan lagu-lagu campursari favoritmu ketika ia menangis, bungsu yang selalu kau gendong ketika lelah berjalan, bungsu kesayanganmu yang membuatmu tak bisa tidur ketika dihinggapi penyakit DBD kelas dua SD dulu. Dan hari ini pa, anak bungsumu sudah lumayan mengerti sedikit tentang makna kehidupan.

Sepertinya adzan Maghrib sudah kudengar, pa. Papa tentu akan menegurku kalau aku melewatkan shalat fardhu. Soal resah itu, ia masih mengendap didasar perasaanku pa. Tapi, seperti selalu, kita akan mengalahkannya bersama-sama kan, pa?

Sebelum ku akhiri tulisan ini, izinkan aku sedikit ucapkan terimakasih buat papa. Terimakasih pa, sudah selalu memaafkan segala salahku, terimakasih sudah selalu menasehatiku, memberiku pelajaran yang berharga tentang apa itu kerendahan hati. Terimakasih sudah mau bersusah payah untuk kuliahku, terimakasih sudah mau menjaga dan menuntunku dengan segala kesabaran dan keteguhan hatimu. Terimakasih selalu menenangkanku dengan lagu-lagu campursari sewaktu aku kecil dulu, terimakasih selalu mau menjadi tempatku berkeluh kesah, tempatku menenangkan segala kacau dalam pikiranku. Terimakasih memelukku erat sekaligus menangis untukku ketika Idul Fitri beberapa bulan lalu. Terimakasih sudah mau menangis di sepertiga malam untukku. Iya pa, diam-diam, sehari sebelum keberangkatanku ke Bandung, aku tak sengaja melihat tangismu sehabis shalat tahajudmu itu. Aku bahkan masih ingat derai airmatamu, tanganmu yang kokoh sedikit bergetar sembari menengadah memanjatkan do'a-do'a. Walau lirih dan pelan sekali aku bisa mendengar namaku disebut olehmu. Nama anak yang sering kali menyakiti hatimu. Aku juga mendengar nama mimi, mba dan mas yang tak lupa untuk kau sebut.

Sudah pukul enam sore, pa. Sekarang aku sedang menatap kosong ke luar jendela, Bandung ternyata lebih cantik ketika gelap membungkusnya dengan alami. Tapi, diantara keindahan itu mataku berkaca-kaca. Tak ada yang kubayangkan diantara gedung-gedung itu, diantara rumah-rumah warga itu selain wajah letih papa ketika pulang dari kantor, wajah lelah papa ketika lelap dalam tidur, wajah serius papa ketika membaca buku, wajah bingung papa ketika ditanya mimi sesuatu yang tak papa paham.

Salam buat mimi, pa. Aku tadi mau menulis tentang mimi juga, tapi entahlah, aku sepertinya tak akan kuat menahan mataku jika harus menyinggung soal mimi terlalu banyak. Sampai ketemu pa, di sore-sore terbaik kita. Sampai jumpa.

Comments

Popular posts from this blog

Gadis Lima Belas Tahun

Lalu, gadis berumur lima belas tahun itu menghampiriku perlahan, sambil melambai manja ia menawarkan: "Dua ratus lima puluh ribu, mas." Aku hanya senyum sekadar senyum. "Umurmu berapa, dek?" "Lima belas tahun, mas." "Bukankah tak baik gadis lima belas tahun di sini?" Lalu, hening sesaat. Sesak dadaku berpikir kalau-kalau ucapanku menyinggung perasaannya. "Hidup tak hanya tentang baik dan buruk, mas. Setidaknya begitu menurut saya."

Tapi, Indramayu adalah Romantisme

Dadaku pernah mendesir selagi menyaksikan rusa-rusa diberi makan oleh mereka yang berbahagia di Ranca Upas, di Bandung. Menjaring kabut di Lembang, bercengkrama dengan dingin yang menyapa sampai kulit terdalam. Aku pernah, menikmati ombak lemah-lembut di pantai di Gunung Kidul. Pasir putih dan tebing yang indahnya bukan main. Atau diterjang ombak besar di pantai Trisik, di Jogja. Memetik buah naga di sepanjang pekarangan di dekat pantainya. Menyapa angin pantai yang tiupannya membuat rambut gondrongku tertiup angin kesana-kemari. Menelusuri keraton dan bertukar cerita di salah satu angkringan di dekat alun-alun Kidul. Atau bercengkrama disela-sela belanja di pasar Beringharjo yang khasnya tak pernah lekang oleh waktu. Bersantap nasi kucing dengan lauk beberapa tusuk usus dan sate telor puyuh, dan sejuta keramahan yang tersimpan rapih di sudut-sudut kota. Bandung adalah tempat paling tepat bagi siapapun yang mau menaruh sejuta luka, melupakannya sejenak dan menikmati segala pernak-pe

Bocah Cadel Lampu Merah - Morfem

Ku menghentikan motorku Di lampu merah selatan Jam sebelas di arloji Kurapatkanlah jaketku Dan, berkhayal telah di rumah Seorang bocah lelaki Yang belum lancar bicara Mendekati dengan senyum Dan tangan yang menengadah Sepertinya hanya itu Yang baru sempat diajarkan Oleh Ibunya Ia bermain, besar di trotoar Diterangi, hangat lampu jalan Nyanyi riuh klakson, debu Ia dibuai, caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Mendung siang hari, peluh Bermandi hujan di aspal Malam silih berganti Pasti jumpa dirinya Kini mulai bisa nyanyi Lagu yang sering di TV Walaupun cadel lidahnya Ia bermain besar di trotoar Diterangi hangat lampu jalan Ia dibuai caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Nyanyi riuh klakson, peluh Bermandi hujan di aspal Tampak ibunya bangga Di kejauhan berkipas Sambil nikmati limunnya