Skip to main content

Buat mba Kiki

Selamat menikah ya mba. Selamat atas segala karunia dan pintu surga yang semakin terbuka untuk kau tempuh. Seperti janji-janji Allah ta'ala kepada para istri yang mengabdi dan taat kepada suami. Semoga, dengan segala kerendahan dan ketulusan hatimu, kamu senantiasa diberi kekuatan untuk selalu mampu melayani suamimu dalam segala hal. Karena kini, surgamu tak lagi hanya di mimi, di papah. Karena kini, duniamu tak lagi hanya tentang mimi, tak lagi hanya tentang papah. Lebih utama dari itu, surgamu ada pada suamimu.

Sayangilah mba, seperti yang aku lihat ke mas Yusuf betapa ia mencintaimu dengan segala kehati-hatianya agar cintanya tak hanya menjadi cinta dunia, tapi juga cinta yang tumbuh di kehidupan setelah ini, yang tumbuh di surganya Allah ta'ala.

Selamat ya mba, selamat menikah. Selamat menjadi seorang istri, selamat sudah menenangkan hati papah, selamat sudah tak lagi membuat papah khawatir tentang masa depanmu digenggaman siapa. Selamat ya mba, menemukan lelaki yang insya Allah benar-benar mencintaimu. Berdo'a selalu mba, agar cintanya kepadamu tak lebih besar dari cintanya kepada Allah ta'ala, cinta yang sebenar-benarnya cinta. Berdo'alah selalu mba, sehabis Maghrib, sehabis shubuh, bareng dengan lelakimu, seperti yang mimi dan papah selalu lakukan setiap kita shalat berjamaah.

Selamat mba, selamat menikah. Selamat menemukan lelaki yang kulihat sabar dan telaten meladeni segala sikapmu. Lelaki yang sudah lama kau idam-idamkan untuk menjabat tangan papah agar sah menjadi suamimu. Lelaki yang kuyakin sering kau sebut dalam do'a-do'amu sehabis shalat fardhu dan tahajud.

Selamat ya mba, selamat karena lelaki pilihanmu itu mampu membuat mata papah berkaca-kaca. Aku melihatnya sewaktu orang-orang sibuk memuji bedak yang melekat dipipimu, yang membuatmu lebih anggun. Hari itu, lelakimu membuktikan kepadaku setegar apapun papah dihadapanku, dihadapan anak-anaknya, adalah papah yang manusia biasa, yang tak mampu menahan butir-butir air mata untuk tak jatuh di pipinya.

Entahlah mba, apa yang papah pikirkan sampai ia tak terlihat seperti biasanya.

Kutebak, papah ingat ketika hari keliharanmu. Hari dimana kau pertama melihat orang yang menuntunmu sampai menjadi kau hari ini, hari ketika papah mengumandangkan adzan di telingamu. Lalu mungkin, sehabis itu, memorinya membawanya ketika kau pertama masuk SD. Ketika rambutmu mba, masih keriting, langkahmu masih tak setegak hari ini, ketika itu mba, kau tak pernah bisa jauh dari papah. Mungkin hari itu papah ingat ketika hujan-hujan, papah membonceng mba dengan motor bebek kesayangan mas in, tubuhmu berlindung di jas hujan papah yang panjangnya hampir menutupi seluruh motor. Percayalah mba, mba kiki adalah putrinya yang ingin selalu papah peluk.

Bahkan sampai kau beranjak dewasa, papah selalu tak membolehkanmu keluar malam. Aku tau mba, papah hanya tak mau putrinya jauh dari pelukannya.

Atau mungkin, papah meneteskan air mata karena ingat masa-masa kuliahmu. Papah yang tak pernah peduli soal uang dan tabungannya untukmu, untuk kuliahmu. Karena papah lebih paham, mimpimu menjadi guru yang harus dicapai dengan gelar sarjana lebih penting ketimbang uang dan tabungannya. Aku tau mba, meski saat wisudamu papah tak meneteskan air matanya, ia tetap saja merasa haru. Putri kecilnya yang dulu selalu dikuncir ketika mau berangkat sekolah semasa SD, tiba-tiba sudah berada dihadapannya memakai baju wisuda, lengkap dengan toga yang talinya menjuntai kesana-kemari ditiup angin.

Sampai pada akhirnya mimpimu menjadi guru terwujud, papah adalah orang pertama yang bersyukur kepada Allah ta'ala. Papah mba, entah tak bisa dihitung lagi berapa kali ia khawatir tentang hidupmu, apalagi sewaktu jauh darinya. Papah, yang sejak kau merengek minta dibelikan boneka sewaktu SD sampai menjadikanmu pengajar, adalah orang yang sudah jatuh-bangun untuk menjadikanmu seperti hari ini, mba. Maka, ketika air matanya tumpah sesaat sebelum menjabat lelakimu untuk menjadikanmu sah menjadi istrinya, aku tak berani untuk menghampirinya. Karena aku tau, tak mudah baginya melepas putri kecilnya ke pelukan lelaki lain. Tapi, dari tangisan itu juga aku paham, papah begitu mempercayakan lelakimu.

Selamat menikah mba, selamat menjadi seorang istri yang harus taat kepada lelaki yang papah dan mimi percayakan hidupmu kepadanya. Semoga Allah ta'ala selalu memberkati setiap langkah yang kalian berdua jalani. Seperti mimi dan papah, tautkan selalu pernikahanmu kepada Allah ta'ala, mba.

Selamat menikah mba, semoga setelah ini, tak ada yang berubah darimu. Semoga kau tetap menjadi putri papah dan mimi yang ketika di rumah, selalu manja dan bikin suasana rumah menjadi lebih hidup. Selamat menikah mba, sempatkan selalu waktumu untuk berkunjung ke rumah, ajak lelakimu. Seperti yang papah dan mimi lakukan untuk selalu menilik mbah kakung dan mbah putri.

Selamat menikah, mba kiki.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tapi, Indramayu adalah Romantisme

Dadaku pernah mendesir selagi menyaksikan rusa-rusa diberi makan oleh mereka yang berbahagia di Ranca Upas, di Bandung. Menjaring kabut di Lembang, bercengkrama dengan dingin yang menyapa sampai kulit terdalam. Aku pernah, menikmati ombak lemah-lembut di pantai di Gunung Kidul. Pasir putih dan tebing yang indahnya bukan main. Atau diterjang ombak besar di pantai Trisik, di Jogja. Memetik buah naga di sepanjang pekarangan di dekat pantainya. Menyapa angin pantai yang tiupannya membuat rambut gondrongku tertiup angin kesana-kemari. Menelusuri keraton dan bertukar cerita di salah satu angkringan di dekat alun-alun Kidul. Atau bercengkrama disela-sela belanja di pasar Beringharjo yang khasnya tak pernah lekang oleh waktu. Bersantap nasi kucing dengan lauk beberapa tusuk usus dan sate telor puyuh, dan sejuta keramahan yang tersimpan rapih di sudut-sudut kota. Bandung adalah tempat paling tepat bagi siapapun yang mau menaruh sejuta luka, melupakannya sejenak dan menikmati segala pernak-pe

Gadis Lima Belas Tahun

Lalu, gadis berumur lima belas tahun itu menghampiriku perlahan, sambil melambai manja ia menawarkan: "Dua ratus lima puluh ribu, mas." Aku hanya senyum sekadar senyum. "Umurmu berapa, dek?" "Lima belas tahun, mas." "Bukankah tak baik gadis lima belas tahun di sini?" Lalu, hening sesaat. Sesak dadaku berpikir kalau-kalau ucapanku menyinggung perasaannya. "Hidup tak hanya tentang baik dan buruk, mas. Setidaknya begitu menurut saya."

Bocah Cadel Lampu Merah - Morfem

Ku menghentikan motorku Di lampu merah selatan Jam sebelas di arloji Kurapatkanlah jaketku Dan, berkhayal telah di rumah Seorang bocah lelaki Yang belum lancar bicara Mendekati dengan senyum Dan tangan yang menengadah Sepertinya hanya itu Yang baru sempat diajarkan Oleh Ibunya Ia bermain, besar di trotoar Diterangi, hangat lampu jalan Nyanyi riuh klakson, debu Ia dibuai, caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Mendung siang hari, peluh Bermandi hujan di aspal Malam silih berganti Pasti jumpa dirinya Kini mulai bisa nyanyi Lagu yang sering di TV Walaupun cadel lidahnya Ia bermain besar di trotoar Diterangi hangat lampu jalan Ia dibuai caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Nyanyi riuh klakson, peluh Bermandi hujan di aspal Tampak ibunya bangga Di kejauhan berkipas Sambil nikmati limunnya