Skip to main content

Ibu, Bolehkah aku?

Ibu, bolehkah aku pulang ke rumahmu? Aku mau sebentar saja, merebahkan badan di kamarku. Kamar yang sewaktu kecil tempat kau obati aku dari demam tinggiku. Boleh ya bu? Sekedar istirahatkan badanku dari mimpi-mimpi yang panjang, yang ternyata melelahkan sekali untuk menjemput mereka.

Ibu, bolehkah aku? Berteduh dibalik pelukmu, menyingkirkan sejenak segala cita-cita dan mimpi masa kecilku. Mimpi yang kadang membuatku penat dan lelah. Aku berpikir, selain peluk dari tubuh hangatmu itu, tak ada lagi yang bisa menenangkanku dari segala penat dan kacau dalam pikiranku.

Ibu, bolehkah aku? Memakai baju-bajuku lagi, yang disetrika oleh tangan manismu, yang lipatannya aku paham betul.

Ibu, boleh ya? Aku pulang ke rumahmu. Menjadi anak kecilmu lagi, yang kau kecup keningku ketika menangis, yang kau teguhkan hatiku ketika ban sepedaku bocor. Yang kau cuci bajuku sehabis aku berenang di kali dekat masjid kampung kita itu, yang kau cuci baju bekas aku pakai hujan-hujanan sore itu. Pulang ke matamu. Menjadi air matamu yang jatuh sebab aku harus sekarat karena DBD sewaktu SD dulu.

Aku mau pulang ibu. Menjemput rindu yang merengek untuk bertemu.

Boleh ya, bu? Aku tidur denganmu lagi, di kamarmu lagi. Karena banyak nyamuk di ruang tengah. Karena aku takut hantu.

Aku mau pulang ibu. Dikecup keningku olehmu. Mencium mesra tangan kananmu.

Aku mau pulang ibu.

Comments

Popular posts from this blog

Suatu Hari Anakmu

--- digubah dari tulisan Bhagavad Sambadha Suatu hari anakmu melihat seorang mahasiswa menangis di lorong gelap di salah satu gedung, setelah sebelumnya bertemu ketua dekan untuk nego bayaran kuliah. Mahasiswa itu tidak pernah sekalipun dalam hidupnya takut di-DO, ia hanya takut orang tuanya kelelahan mencari dana selagi dirinya menjadi pelajar. Suatu hari anakmu melihat bocah umur lima belas tahun bekerja siang malam demi nasi dan lauk yang dimakan oleh dirinya dan adik-adik. Di tempatnya bekerja, keringat dan air yang mengalir di wastafel di kampus anakmu belajar mungkin sama derasnya. Bocah itu tidak pernah sekalipun dalam hidupnya takut kelaparan, ia hanya takut orang tuanya kekeringan keringat selagi ia dan adik-adik asik menyantap makanan. Suatu hari anakmu melihat seorang remaja seumur SMP dan SMA menjajakan tissue di bawah lampu merah di mana orang-orang mengumpat karena panas dan dikejar waktu. Di sana, matahari bahkan lebih menakutkan dari perut kosong, karena panasnya tak bi...

KETAKUTAN ITU WAJAR

Perang Mu’tah, adalah perang yang secara rasio tak akan membuat manusia optimis apalagi yakin dengan kemenangan yang dijanjikan. Bayangkan saja, jumlah pasukan Romawi yang berkumpul pada hari itu lebih dari 200.000 tentara, lengkap dengan baju perang yang gagah, panji-panji dari kain sutra, senjata-senjata yang perkasa, lalu dengan kuda-kuda yang juga siap dipacu. Abu Hurairah bersaksi atas perang ini. ”Aku menyaksikan Perang Mu’tah. Ketika kami berdekatan dengan orang-orang musyrik. Kami melihat pemandangan yang tiada bandingnya. Jumlah pasukan dan senjatanya, kuda dan kain sutra, juga emas. Sehingga mataku terasa silau,” ujar Abu Hurairah.  Sebelum melihatnya, pasukan para sahabat yang hanya berjumlah 3.000 orang-orang beriman, sudah mendengar kabar tentang besarnya pasukan lawan. Sampai-sampai mereka mengajukan berbagai pendapat, untuk memikirkan jalan keluar. Ada yang berpendapat agar pasukan Islam mengirimkan surat kepada Rasulullah saw, mengabarkan jumlah mu...

Di Stasiun

Di stasiun, orang-orang berkumpul, saling berpelukan, cium-cium kecil pipi atau kening masing-masing dari mereka, atau yang paling sederhana, sekedar salaman penuh makna. Semuanya melepas rindu, sebelum waktu merenggutnya. Lempuyangan, 2018