Skip to main content

Morfem!

Ada banyak band yang bisa didengarkan ketika seseorang merasa terpuruk dan bahkan merasa bahwa hidupnya mungkin sudah menjadi abu. Tidak ada yang menarik lagi. Ada beberapa band yang orang dengarkan ketika patah hati, beberapa band yang lain orang dengarkan ketika suasana hatinya sedang bagus. 

Dan, Morfem, bagi saya, adalah band dengan lagu-lagu yang menemani ketika hidup lagi brengsek-brengseknya. Kehilangan hal besar, patah hati, beban di pundak yang beratnya setengah mati, tugas-tugas kuliah yang saya tidak bisa atur lagi waktu pengerjaannya dan seabreg masalah yang datang adalah hal-hal yang ada di dalam hidup saya ketika lagu-lagu dari Morfem terus menemani saya dan seolah berbisik tepat di telinga, tetapi dengan nada yang amat sangat keras sekali, "Jangan mati dulu!"

Pertengahan sampai akhir tahun 2019, bagi hidup saya, adalah tahun paling brengsek yang pernah saya alami. Momen hilang arah, tidak ada ketertarikan dan gairah hidup, sekaligus bingung harus melakukan apa adalah beberapa hal paling memuakan selama tahun 2019. Diantara hari-hari paling berat itu, beberapa lagu dari Morfem rutin saya dengarkan. Semata-mata biar saya tidak benar-benar menggantung leher saya di dalam kamar.

Lagu pertama yang membuat saya, setidaknya, memiliki sedikit lagi gairah untuk hidup adalah salah satu lagu Morfem dari album paling baru mereka, "Dramaturgi Underground", lagu yang sering sekali saya dengar karena merasa dekat dengan lirik yang dibuat, "Jungkir Balik". Setiap kali mendengar "Jungkir Balik", ingatan saya kembali ke gang yang di dalamnya terdapat bangunan tempat saya berteduh, menangis, dipeluk ibu dan berteman, juga bertumbuh besar; rumah. Selain itu, juga mengingatkan saya tentang ayah yang tahun depan harus pensiun, selagi saya masih memiliki beban untuk menuntaskan kuliah dengan segala kerja keras beliau. 

Anak gang dari perkampungan salah satu kabupaten yang mungkin tidak banyak orang tertarik, lahir dengan segala kekacauan lingkungan; prostitusi, teman teler di selokan, kata kasar dan segala umpatan lalu-lalang, berusaha untuk menjadi sesuatu yang sialnya harus terbentur segala hal. Terutama di 2019. Morfem, lewat lirik lagunya ini, seolah menjelma menjadi diri saya yang lain, yang lebih tua 2-3 tahunan di atas usia saya, teriak-teriak di depan muka saya yang lesu, "Aku jungkir balik! Kepala di kaki di kepala.
Tabrak perihal tak mungkin. Abaikan mustahil. Ini mesti diwujudkan!"

Satu lagu yang selalu akan saya dengarkan ketika hidup sedang brengsek-brengseknya.

Selain "Jungkir Balik", lagu yang mengingatkan saya tentang suatu tempat, yang entah kenapa justru membuat saya sedikit lebih adem adalah lagu dari album "Hey, Makan tuh Gitar!". Lagu yang mengingatkan saya tentang lampu merah di bawah jembatan layang Pasupati, Bandung di jam 3 pagi ketika hendak pulang ke kosan. Hal yang sering saya lakukan di semester awal perkuliahan, dimana hidup masih baik-baik saja. "Bocah cadel lampu merah", lagu yang kini saya dengarkan setiap kali akan pulanh ke Bandung, tempat yang setidaknya, untuk sementara, bisa meredamkan segala peluh.

Masih dari album yang sama, satu lagu lain yang selalu membuat saya tidak jadi untuk menenggelamkan diri adalah lagu yang menurut penuturan Jimi Multhazam, dibuat untuk anaknya. Lagu yang bercerita tentang bagaimana ia dulu tidak mendapatkan keistimewaan yang didapat oleh anaknya sekarang. Lagu yang didalamnya juga terselip nasihat-nasihat dari seorang Ayah untuk anak kesayangan. Membuat saya berpikir, bahwa hidup memang seharusnya harus terus berjalan, untuk diri sendiri atau mungkin bahkan bisa menjadi untuk orang lain. Untuk anak, misalnya, seperti yang lagu ini ceritakan, "Cerdas dan Taktis". 

"Tak perlu kau nanti tidur di sembarangan tempat. Makan karbohidrat jalanan. Biarkanlah aku, dengan cerita masa silam."

Lirik yang mungkin, seperti Jimi, akan juga saya bacakan atau sampaikan di depan anak saya, kelak. 

Ada beberapa lagu lain sebenarnya dari Morfem yang punya andil untuk menemani masa-masa yang samasekali tidak mau saya ulang itu. Seperti, "Tiba-tiba Terjadi" yang saya dengarkan ketika kehilangan yang mengagetkan itu datang, tanpa permisi dan ancang-ancang. Selain itu, ada juga lagu lain seperti "Tidur dimanapun, bermimpi kapanpun" yang rutin juga saya dengar, serasa menjadi lebih baik. Ada pula lagu lainnya, "Rayakan Pemenang", yang malam sebelum hari pernikahan kawan baik saya, selalu saya ulang-ulang. Pernikahan yang terjadi di tahun paling sakit di hidup saya, yang entah malam itu saya menangis karena kebahagiaan bahwa ternyata kawan saya --yang juga saudara baik saya, yang sedari kecil sampai SMA, bahkan sampai detik ini selalu bersama pada akhirnya menikah atau justru saya menangisi diri saya sendiri.

Terima kasih, Morfem. Dan hidup memang brengsek.

Comments

  1. Lagu-lagu Morfem selalu menemani ketika saya mengerjakan tugas akhir. Good old days.

    ReplyDelete
  2. Lagu-lagu Morfem selalu menemani masa-masa tugas akhir kuliah saya. Good old days.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tapi, Indramayu adalah Romantisme

Dadaku pernah mendesir selagi menyaksikan rusa-rusa diberi makan oleh mereka yang berbahagia di Ranca Upas, di Bandung. Menjaring kabut di Lembang, bercengkrama dengan dingin yang menyapa sampai kulit terdalam. Aku pernah, menikmati ombak lemah-lembut di pantai di Gunung Kidul. Pasir putih dan tebing yang indahnya bukan main. Atau diterjang ombak besar di pantai Trisik, di Jogja. Memetik buah naga di sepanjang pekarangan di dekat pantainya. Menyapa angin pantai yang tiupannya membuat rambut gondrongku tertiup angin kesana-kemari. Menelusuri keraton dan bertukar cerita di salah satu angkringan di dekat alun-alun Kidul. Atau bercengkrama disela-sela belanja di pasar Beringharjo yang khasnya tak pernah lekang oleh waktu. Bersantap nasi kucing dengan lauk beberapa tusuk usus dan sate telor puyuh, dan sejuta keramahan yang tersimpan rapih di sudut-sudut kota. Bandung adalah tempat paling tepat bagi siapapun yang mau menaruh sejuta luka, melupakannya sejenak dan menikmati segala pernak-pe

Gadis Lima Belas Tahun

Lalu, gadis berumur lima belas tahun itu menghampiriku perlahan, sambil melambai manja ia menawarkan: "Dua ratus lima puluh ribu, mas." Aku hanya senyum sekadar senyum. "Umurmu berapa, dek?" "Lima belas tahun, mas." "Bukankah tak baik gadis lima belas tahun di sini?" Lalu, hening sesaat. Sesak dadaku berpikir kalau-kalau ucapanku menyinggung perasaannya. "Hidup tak hanya tentang baik dan buruk, mas. Setidaknya begitu menurut saya."

Bocah Cadel Lampu Merah - Morfem

Ku menghentikan motorku Di lampu merah selatan Jam sebelas di arloji Kurapatkanlah jaketku Dan, berkhayal telah di rumah Seorang bocah lelaki Yang belum lancar bicara Mendekati dengan senyum Dan tangan yang menengadah Sepertinya hanya itu Yang baru sempat diajarkan Oleh Ibunya Ia bermain, besar di trotoar Diterangi, hangat lampu jalan Nyanyi riuh klakson, debu Ia dibuai, caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Mendung siang hari, peluh Bermandi hujan di aspal Malam silih berganti Pasti jumpa dirinya Kini mulai bisa nyanyi Lagu yang sering di TV Walaupun cadel lidahnya Ia bermain besar di trotoar Diterangi hangat lampu jalan Ia dibuai caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Nyanyi riuh klakson, peluh Bermandi hujan di aspal Tampak ibunya bangga Di kejauhan berkipas Sambil nikmati limunnya