Skip to main content

Tapi, Indramayu adalah Romantisme

Dadaku pernah mendesir selagi menyaksikan rusa-rusa diberi makan oleh mereka yang berbahagia di Ranca Upas, di Bandung. Menjaring kabut di Lembang, bercengkrama dengan dingin yang menyapa sampai kulit terdalam.

Aku pernah, menikmati ombak lemah-lembut di pantai di Gunung Kidul. Pasir putih dan tebing yang indahnya bukan main. Atau diterjang ombak besar di pantai Trisik, di Jogja. Memetik buah naga di sepanjang pekarangan di dekat pantainya. Menyapa angin pantai yang tiupannya membuat rambut gondrongku tertiup angin kesana-kemari.

Menelusuri keraton dan bertukar cerita di salah satu angkringan di dekat alun-alun Kidul. Atau bercengkrama disela-sela belanja di pasar Beringharjo yang khasnya tak pernah lekang oleh waktu. Bersantap nasi kucing dengan lauk beberapa tusuk usus dan sate telor puyuh, dan sejuta keramahan yang tersimpan rapih di sudut-sudut kota.

Bandung adalah tempat paling tepat bagi siapapun yang mau menaruh sejuta luka, melupakannya sejenak dan menikmati segala pernak-pernik kota yang diselimuti suhu antara 24-27°. Bandung adalah sejuta kebaikan yang Tuhan tumpahkan bersama segala cerita keindahan di dalamnya.

Dan Jogja, kota dengan segala keramahan dan sejuta pelajaran tentang hidup, yang jika beruntung, siapapun bisa belajar darinya. 

Sudah puluhan bahkan ratusan, atau mungkin ribuan orang yang menjadikan Jogja sebagai tempat untuk pulang. Tempat yang siapapun pasti terpesona dengan segala keramahan dan kehangatan yang tersedia di kotanya.

Bandung, juga Jogja, jelas adalah kota yang memberi segala kenyamanan, kebaikan-kebaikan dalam hidup, dan rasa tenang, yang membuat semua kehidupan seperti berhenti sejenak, berdialog dengan diri dan menyadari betapa dalam hidup, banyak hal berlalu dan menghilang. Mereka memberikan segalanya, yang terbaik yang bisa dirasakan, membuat damai dan betah.

Tapi, Indramayu adalah romantisme, dan tidak ada yang bisa mengalahkan keintimannya.

Kebun mangga, bau masakan ibu di pagi buta, tanaman-tanaman ayah yang menjular ke tanah, kawan-kawan dan keluarga yang sudah jelas tidak pernah ada duanya adalah sesuatu yang sulit untuk dibuang. Indramayu adalah setumpuk rindu, yang menarik kakiku ketika sedang di-nina-bobokan angin selatan. Menarik tanganku ketika mataku sedang khusyu menikmati keindahan pohon-pohon yang seolah sedang baris-berbaris di hutan Pinus di Bantul atau Cikole.

Ia mengajakku pulang ketika aku sedang menikmati ramai orang berlalu lalang di sepanjang jalan Braga di pukul 8 malam. Ia mengajakku kembali ke ratusan kilometer ketika aku sedang asik memilih bakpia dan pernak-pernik buah tangan di sepanjang Malioboro. Disaat aku masih ingin menikmati keagungan Merapi, ia, sekali lagi, mengajakku kembali, ke tempat di mana seharusnya pulang, ke tempat di mana semua rasa nyaman dan damai pertama kali dirasakan.

Dan, ternyata, tidak pernah berubah selama dua puluh satu tahun.

Ia adalah tempatku pulang, tidak ada yang sehebat itu.

Comments

Popular posts from this blog

Suatu Hari Anakmu

--- digubah dari tulisan Bhagavad Sambadha Suatu hari anakmu melihat seorang mahasiswa menangis di lorong gelap di salah satu gedung, setelah sebelumnya bertemu ketua dekan untuk nego bayaran kuliah. Mahasiswa itu tidak pernah sekalipun dalam hidupnya takut di-DO, ia hanya takut orang tuanya kelelahan mencari dana selagi dirinya menjadi pelajar. Suatu hari anakmu melihat bocah umur lima belas tahun bekerja siang malam demi nasi dan lauk yang dimakan oleh dirinya dan adik-adik. Di tempatnya bekerja, keringat dan air yang mengalir di wastafel di kampus anakmu belajar mungkin sama derasnya. Bocah itu tidak pernah sekalipun dalam hidupnya takut kelaparan, ia hanya takut orang tuanya kekeringan keringat selagi ia dan adik-adik asik menyantap makanan. Suatu hari anakmu melihat seorang remaja seumur SMP dan SMA menjajakan tissue di bawah lampu merah di mana orang-orang mengumpat karena panas dan dikejar waktu. Di sana, matahari bahkan lebih menakutkan dari perut kosong, karena panasnya tak bi...

KETAKUTAN ITU WAJAR

Perang Mu’tah, adalah perang yang secara rasio tak akan membuat manusia optimis apalagi yakin dengan kemenangan yang dijanjikan. Bayangkan saja, jumlah pasukan Romawi yang berkumpul pada hari itu lebih dari 200.000 tentara, lengkap dengan baju perang yang gagah, panji-panji dari kain sutra, senjata-senjata yang perkasa, lalu dengan kuda-kuda yang juga siap dipacu. Abu Hurairah bersaksi atas perang ini. ”Aku menyaksikan Perang Mu’tah. Ketika kami berdekatan dengan orang-orang musyrik. Kami melihat pemandangan yang tiada bandingnya. Jumlah pasukan dan senjatanya, kuda dan kain sutra, juga emas. Sehingga mataku terasa silau,” ujar Abu Hurairah.  Sebelum melihatnya, pasukan para sahabat yang hanya berjumlah 3.000 orang-orang beriman, sudah mendengar kabar tentang besarnya pasukan lawan. Sampai-sampai mereka mengajukan berbagai pendapat, untuk memikirkan jalan keluar. Ada yang berpendapat agar pasukan Islam mengirimkan surat kepada Rasulullah saw, mengabarkan jumlah mu...

Di Stasiun

Di stasiun, orang-orang berkumpul, saling berpelukan, cium-cium kecil pipi atau kening masing-masing dari mereka, atau yang paling sederhana, sekedar salaman penuh makna. Semuanya melepas rindu, sebelum waktu merenggutnya. Lempuyangan, 2018