Skip to main content

Mengutuk Diri

Saya mengutuk diri karena ternyata saya adalah anak bapak yang paling mirip dengan bapak. Struktur gigi bapak yang ditemui di gigi saya, gigi bawah bapak yang runcing kanan kiri yang ditemui di gigi bawah saya.

Saya mengutuk diri karena ternyata saya adalah anak bapak yang paling mirip dengan bapak. Emosi tak terkendali bapak, mudah meninggi dan ringan lidah yang juga menjadi bagian dari diri saya dan bertahun-tahun membuat saya mengutuk diri sendiri.

Saya teramat mirip dengan bapak bukan saja pada sifat dan struktur gigi dan emosi dan segala hal tentang bapak, tetapi juga mirip dengan bentuk badan yang bapak punya. Saya terlalu mirip bentuk badan dengan bapak sehingga orang kebingungan membedakan saya dan bapak ketika sama-sama disiram cahaya matahari sore sehingga hanya siluet.

Saya mengutuk diri karena terlalu mirip bapak yang jarang dalam hidupnya memiliki rencana-rencana jangka panjang dan ternyata itu adalah diri saya hari ini. Saya mengutuk diri karena terlampau duplikat dengan bapak yang gampang menangis dan simpati dan itu membuat saya marah karena merasa lemah.

Saya mengutuk diri karena terlampau kagum pada bapak dan terlalu membenci diri sendiri. Saya mengutuk diri karena identik dengan bapak dan itu membuat saya membenci diri sendiri. Saya menyesali bertahun-tahun merasa persis bentuk badan dan emosi dan saya terus mencari-cari perbedaan keduanya antara saya dan bapak dan saya menemukannya.

Bapak tidak pernah mengutuk dirinya sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

Gadis Lima Belas Tahun

Lalu, gadis berumur lima belas tahun itu menghampiriku perlahan, sambil melambai manja ia menawarkan: "Dua ratus lima puluh ribu, mas." Aku hanya senyum sekadar senyum. "Umurmu berapa, dek?" "Lima belas tahun, mas." "Bukankah tak baik gadis lima belas tahun di sini?" Lalu, hening sesaat. Sesak dadaku berpikir kalau-kalau ucapanku menyinggung perasaannya. "Hidup tak hanya tentang baik dan buruk, mas. Setidaknya begitu menurut saya."

Tapi, Indramayu adalah Romantisme

Dadaku pernah mendesir selagi menyaksikan rusa-rusa diberi makan oleh mereka yang berbahagia di Ranca Upas, di Bandung. Menjaring kabut di Lembang, bercengkrama dengan dingin yang menyapa sampai kulit terdalam. Aku pernah, menikmati ombak lemah-lembut di pantai di Gunung Kidul. Pasir putih dan tebing yang indahnya bukan main. Atau diterjang ombak besar di pantai Trisik, di Jogja. Memetik buah naga di sepanjang pekarangan di dekat pantainya. Menyapa angin pantai yang tiupannya membuat rambut gondrongku tertiup angin kesana-kemari. Menelusuri keraton dan bertukar cerita di salah satu angkringan di dekat alun-alun Kidul. Atau bercengkrama disela-sela belanja di pasar Beringharjo yang khasnya tak pernah lekang oleh waktu. Bersantap nasi kucing dengan lauk beberapa tusuk usus dan sate telor puyuh, dan sejuta keramahan yang tersimpan rapih di sudut-sudut kota. Bandung adalah tempat paling tepat bagi siapapun yang mau menaruh sejuta luka, melupakannya sejenak dan menikmati segala pernak-pe

Bocah Cadel Lampu Merah - Morfem

Ku menghentikan motorku Di lampu merah selatan Jam sebelas di arloji Kurapatkanlah jaketku Dan, berkhayal telah di rumah Seorang bocah lelaki Yang belum lancar bicara Mendekati dengan senyum Dan tangan yang menengadah Sepertinya hanya itu Yang baru sempat diajarkan Oleh Ibunya Ia bermain, besar di trotoar Diterangi, hangat lampu jalan Nyanyi riuh klakson, debu Ia dibuai, caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Mendung siang hari, peluh Bermandi hujan di aspal Malam silih berganti Pasti jumpa dirinya Kini mulai bisa nyanyi Lagu yang sering di TV Walaupun cadel lidahnya Ia bermain besar di trotoar Diterangi hangat lampu jalan Ia dibuai caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Nyanyi riuh klakson, peluh Bermandi hujan di aspal Tampak ibunya bangga Di kejauhan berkipas Sambil nikmati limunnya