Skip to main content

Memahami, Mengenal Jogja Hiphop Foundation

Pernah dengar Jogja Hip Hop Foundation (JHF)? JHF adalah sebuah kumpulan musisi rap dan hip hop dari kota Yogyakarta yang didirikan tahun 2003, oleh Marzuki Mohammad alias Kill The DJ. JHF juga didukung oleh musisi hip hop kota gudeg lainnya yaitu duo Jahanam (Mamok dan Balance), Rotra (Janu Prihaminanto alias Ki Ageng Gantas), Radjapati (Lukman), serta 2 anggota ad hoc DJ Vanda dan pesinden Soimah Pancawati.
JHF menciptakan dan menyanyikan lagu-lagu bergenre hip hop dan rap. Uniknya sebagian besar lirik lagu mereka ditulis dalam bahasa Jawa. Mereka juga memasukkan unsur tradisional Jawa seperti gamelan dan sinden dalam balutan musik hip hop kreasi mereka. Semangat inilah yang menjadi karakter dari JHF. 

Diawali dengan berbagai acara kecil seperti It’s Hip Hop Reunion dan Angkringan Hip Hop, kemudian pada tahun 2006-2009 memulai proyek Poetry Battle; eksplorasi karya puisi Indonesia dari puisi-puisi tradisional hingga kontemporer dengan media hip hop. 
Karya mereka dapat disimak dalam album kompilasi Poetry Battle 1 (2007) dan Poetry Battle 2 (2008) serta film dokumenter perjalanan mereka selama 8 tahun dalam Hiphopdiningrat, The Tales of Javanese Hip-Hop.

Dengan segala keunikan yang dimilikinya, mencampurkan musik hip hop dengan tradisi Jawa, JHF mulai diundang ke panggung-panggung internasional, diawali dengan pementasan di Esplanade Singapore tahun 2009, tahun 2011 JHF diundang pentas ke New York dan San Fransisco.

Pada tahun 2010, Jogja Hip Hop Foundation meluncurkan film dokumenter Hiphopdiningrat; sebuah potret perjalanan hip hop Jawa. Film itu kemudian mendapatkan respon positif dari berbagai media dan kemudian diundang ke berbagai festival film internasional.
JHF juga menjadi penata musik dan pengisi acara dalam pentas Laskar Dagelan (from Republik Jogja with Love). Laskar Dagelan merupakan pentas pertama dalam rangkaian acara Indonesia Kita, suatu pentas seni kolaborasi sutradara Agus Noor dan seniman Butet Kertaredjasa di Taman Ismail Marzuki beberapa waktu yang lalu. JHF juga sudah tampil membawakan hip hop Jawa mereka di beberapa panggung di luar negeri seperti Amerika Serikat, China, Korea Selatan, dan India.

Tidak melulu musik dan seni, komunitas ini juga membentuk United of Nothing (UN), sebuah wadah sosial mereka dalam membantu mengumpulkan dan menyalurkan bantuan kepada korban erupsi Gunung Merapi pada 2010 yang lalu. Wujud aksi mereka dapat kita lihat di blog UN.

Mereka juga tampil dalam iklan terbaru Intel, hal yang juga membuktikan bahwa teknologi membantu mereka dalam berkarya dan jejaring sosial membantu memperkenalkan karya mereka ke masyarakat. Kita dapat memantau kegiatan mereka di Twitter di akun @JHFcrew atau di halaman Facebook serta lewat situs mereka.

Sebagai dedengkot JHF, Kill The DJ tentunya yang menjadi corong dari grup ini. Di Twitter, kita dapat menyapanya lewat akun @killthedj

Keterbatasan bahasa Jawa yang digunakan sebagai lirik rap, yang mungkin susah mendapatkan tempat di industri music Indonesia, mampu diatasi dengan caranya sendiri. Saat ini lagu-lagu dari JHF sudah menjadi lagu rakyat di Yogyakarta, terutama setelah diluncurkannya lagu Jogja Istimewa yang sudah menjadi soundtrack kehidupan rakyat Yogyakarta. Lagu itu dinyanyikan kolektif oleh Ki Jarot, akronim dari Kill the DJ, Jahanam, Rotra, ketiganya adalah crew yang paling konsisten memproduksi lagu-lagu hip hop berbahasa dan bernuansa Jawa dan mempresentasikan eksistensi dari JHF.

Salah satu lagu JHF yang paling populer dan sering muncul di televisi karena liriknya tentang isu keistimewaan Yogyakarta, yaitu “Jogja Istimewa”.




Crews of Jogja Hip Hop Foundation

Kill the DJ

Ia memiliki dua alias, Kill the DJ dan Chebolang. Tapi, ketahuilah bahwa nama aslinya Marzuki Mohamad. Ia anak seorang petani dan guru agama dari Prambanan. Jika kita bertanya tentang agama, ia akan mengaku sebagai seorang penganut animisme progresif. Marzuki mengaku beraliran elektronika – hip hop – visual, untuk mempresentasikan semua yang sudah dikerjakannya. Marzuki merupakan pendiri Performance Fucktory, Parkinsound, Republik Art, United of Nothing, Whatever Shop, dan sekarang Jogja Hip Hop Foundation. Proses Poetry Battle menghasilkan trilogi hip hop yang semua liriknya dihasilkan dari bacaannya terhadap teks asli Serat Centhini. Belakangan ini Marzuki kerap bekerja sama dengan sinden Jawa, Soimah Pancawati. 

Jahanam
Jahanam adalah salah satu kru hip hop yang paling populer di Jogja saat ini. Album perdananya yang berjudul Jahanam Su! berhasil menghidupkan gairah hip hop di Jogja dan sekitarnya. Lebih dari 20.000 kopi laris di seluruh Indonesia, bahkan sampai ke Suriname, Jahanam konsisten memproduksi lagu-lagu berbahasa Jawa yang disuguhkan dengan dentuman urban yang hybrid. Melalui Poetry Battle, kita bisa mendengar bagaimana pertemuan musik Jahanam dengan teks-teks karya Sindhunata menjadi sebuah senyawa yang sempurna. Jahanam beranggotakan dua pemuda; Balance (Beatmaker/MC) dan Mamok (MC).

Rotra
Sebelum memiliki nama Rotra, Janu Prihaminanto a.k.a Ki Ageng Gantas, eks G-Tribe, adalah legenda. G-Tribe merupakan kru hip-hop berbahasa Jawa pertama di Yogyakarta, dan bahkan di Indonesia. Ki Ageng Gantas, yang akrab dipanggil Anto, adalah pionir hip-hop berbahasa Jawa. Sekarang, bersama Lukman Hakim a.k.a Rajapati mereka hadir dengan nama Rotra. Ki Ageng Gantas sangat dikenal sebagai seseorang yang selalu menghasilkan komposisi rap yang easy listening dengan refrain yang gampang diingat tanpa kehilangan sensibilitas kata-kata. Pun apabila yang dinyanyikannya adalah kritik sosial. 



Comments

Popular posts from this blog

Gadis Lima Belas Tahun

Lalu, gadis berumur lima belas tahun itu menghampiriku perlahan, sambil melambai manja ia menawarkan: "Dua ratus lima puluh ribu, mas." Aku hanya senyum sekadar senyum. "Umurmu berapa, dek?" "Lima belas tahun, mas." "Bukankah tak baik gadis lima belas tahun di sini?" Lalu, hening sesaat. Sesak dadaku berpikir kalau-kalau ucapanku menyinggung perasaannya. "Hidup tak hanya tentang baik dan buruk, mas. Setidaknya begitu menurut saya."

Tapi, Indramayu adalah Romantisme

Dadaku pernah mendesir selagi menyaksikan rusa-rusa diberi makan oleh mereka yang berbahagia di Ranca Upas, di Bandung. Menjaring kabut di Lembang, bercengkrama dengan dingin yang menyapa sampai kulit terdalam. Aku pernah, menikmati ombak lemah-lembut di pantai di Gunung Kidul. Pasir putih dan tebing yang indahnya bukan main. Atau diterjang ombak besar di pantai Trisik, di Jogja. Memetik buah naga di sepanjang pekarangan di dekat pantainya. Menyapa angin pantai yang tiupannya membuat rambut gondrongku tertiup angin kesana-kemari. Menelusuri keraton dan bertukar cerita di salah satu angkringan di dekat alun-alun Kidul. Atau bercengkrama disela-sela belanja di pasar Beringharjo yang khasnya tak pernah lekang oleh waktu. Bersantap nasi kucing dengan lauk beberapa tusuk usus dan sate telor puyuh, dan sejuta keramahan yang tersimpan rapih di sudut-sudut kota. Bandung adalah tempat paling tepat bagi siapapun yang mau menaruh sejuta luka, melupakannya sejenak dan menikmati segala pernak-pe

Bocah Cadel Lampu Merah - Morfem

Ku menghentikan motorku Di lampu merah selatan Jam sebelas di arloji Kurapatkanlah jaketku Dan, berkhayal telah di rumah Seorang bocah lelaki Yang belum lancar bicara Mendekati dengan senyum Dan tangan yang menengadah Sepertinya hanya itu Yang baru sempat diajarkan Oleh Ibunya Ia bermain, besar di trotoar Diterangi, hangat lampu jalan Nyanyi riuh klakson, debu Ia dibuai, caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Mendung siang hari, peluh Bermandi hujan di aspal Malam silih berganti Pasti jumpa dirinya Kini mulai bisa nyanyi Lagu yang sering di TV Walaupun cadel lidahnya Ia bermain besar di trotoar Diterangi hangat lampu jalan Ia dibuai caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Nyanyi riuh klakson, peluh Bermandi hujan di aspal Tampak ibunya bangga Di kejauhan berkipas Sambil nikmati limunnya