Skip to main content

Maaf

Percayalah..
Aku tak pernah mampu melihatmu menangis
Tak pernah kuat melihatmu terjaga dimalam hari menunggu kepulanganku
Aku tak kuasa melihat letihnya, melihat kucuran keringat yang menetes dipipimu

Papah..
Maaf, aku selalu belum mampu menjadi benar benar dewasa
Maaf, aku selalu gunakan ego untuk menyelesaikan setiap masalah
Maaf, kemarin aku marah
Maaf pah, aku selalu memandangmu buruk akan masa lalumu

Melihatmu tertidur lelap dengan segala perjuanganmu
Aku melihatmu berlari
Melihatmu jatuh
Melihatmu bangun
Aku melihatmu dengan kelelahan yang kau emban
Untuk anakmu
Untuk istrimu

Papah..
Aku berlumur dosa kala menulis kata kata ini
Malam tadi sudah tentu aku menggoreskan luka dihatimu
Tentu saja dengan kebodohanku, aku baru saja membuatmu kecewa
Aku tau, aku minta maaf

Papah..
Kedewasaan yang kau ajarkan, belum benar benar mampu aku terapkan
Aku masih jadi anakmu yang nakal
Aku masih seperti dulu, aku masih bodoh oleh tiap tindakan yang kulakukan
Maaf pah..

Mi..
Entah harus kutulis bagaimana untuk kusampaikan maafku
Badan ini penuh oleh penyesesalan, rasa bersalah padamu
Aku tau, sering kusayat perasaan mu
Aku malu pada sosokmu
Aku minta maaf

Mimi..
Maaf untuk setiap langkah yang kutempuh, jalan yang salah yang aku lewati
Maaf mi, untuk setiap kata kataku yang pernah, bahkan mungkin sering menyakitimu
Maaf mi, diantara anak anakmu yang kau sayang, aku masih nakal
Maaf sekali atas setiap apapun yang kulakukan yang bisa membuatmu kecewa
Aku minta maaf

Tuhan..
Maaf, Malaikat tanpa sayap yang kau kirim untukku belum benar benar aku jaga

Comments

Popular posts from this blog

Gadis Lima Belas Tahun

Lalu, gadis berumur lima belas tahun itu menghampiriku perlahan, sambil melambai manja ia menawarkan: "Dua ratus lima puluh ribu, mas." Aku hanya senyum sekadar senyum. "Umurmu berapa, dek?" "Lima belas tahun, mas." "Bukankah tak baik gadis lima belas tahun di sini?" Lalu, hening sesaat. Sesak dadaku berpikir kalau-kalau ucapanku menyinggung perasaannya. "Hidup tak hanya tentang baik dan buruk, mas. Setidaknya begitu menurut saya."

Tapi, Indramayu adalah Romantisme

Dadaku pernah mendesir selagi menyaksikan rusa-rusa diberi makan oleh mereka yang berbahagia di Ranca Upas, di Bandung. Menjaring kabut di Lembang, bercengkrama dengan dingin yang menyapa sampai kulit terdalam. Aku pernah, menikmati ombak lemah-lembut di pantai di Gunung Kidul. Pasir putih dan tebing yang indahnya bukan main. Atau diterjang ombak besar di pantai Trisik, di Jogja. Memetik buah naga di sepanjang pekarangan di dekat pantainya. Menyapa angin pantai yang tiupannya membuat rambut gondrongku tertiup angin kesana-kemari. Menelusuri keraton dan bertukar cerita di salah satu angkringan di dekat alun-alun Kidul. Atau bercengkrama disela-sela belanja di pasar Beringharjo yang khasnya tak pernah lekang oleh waktu. Bersantap nasi kucing dengan lauk beberapa tusuk usus dan sate telor puyuh, dan sejuta keramahan yang tersimpan rapih di sudut-sudut kota. Bandung adalah tempat paling tepat bagi siapapun yang mau menaruh sejuta luka, melupakannya sejenak dan menikmati segala pernak-pe

Bocah Cadel Lampu Merah - Morfem

Ku menghentikan motorku Di lampu merah selatan Jam sebelas di arloji Kurapatkanlah jaketku Dan, berkhayal telah di rumah Seorang bocah lelaki Yang belum lancar bicara Mendekati dengan senyum Dan tangan yang menengadah Sepertinya hanya itu Yang baru sempat diajarkan Oleh Ibunya Ia bermain, besar di trotoar Diterangi, hangat lampu jalan Nyanyi riuh klakson, debu Ia dibuai, caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Mendung siang hari, peluh Bermandi hujan di aspal Malam silih berganti Pasti jumpa dirinya Kini mulai bisa nyanyi Lagu yang sering di TV Walaupun cadel lidahnya Ia bermain besar di trotoar Diterangi hangat lampu jalan Ia dibuai caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Nyanyi riuh klakson, peluh Bermandi hujan di aspal Tampak ibunya bangga Di kejauhan berkipas Sambil nikmati limunnya