Skip to main content

Tentang Pagi Ini

Masih tiga pagi.

Aku masih asik menghisap rokok, tamu tamu belum sepenuhnya pulang. Aku masih menunggu, sayang jika ada rupiah yang terlewatkan.

Jum'at ini entah mengapa aku menjadi penganggur. Dandanan setengah terbuka yang biasa aku pertontonkan mendadak tak dilirik, mentok hanya dilirik sebelah mata. Belum ada lelaki hidung belang yang menawar, belum ada bangsat yang datang untuk mengajak sekamar.

Harus tau, kadang keadaan luang seperti ini membuatku rindu, rindu dengan kehidupanku yang dulu dulu, yang masih asri, masih penuh dengan canda dan tawa. Kadang keadaan seperti ini membuatku melamun, menghayal andai aku punya banyak uang, punya suami yang sopan dan pengertian, aku menghayal andai aku berhenti menjadi pelacur, berhenti menjadi perempuan penjerat nafsu suami suami orang.

Seperti perempuan perempuan kebanyakan, aku juga tak sudi mengais rupiah dengan cara yang amat hina. Aku juga tak sudi harus melayani lelaki yang seumur dengan ayahku, seumur dengan adikku, seumur dengan om-ku. Aku juga tak sudi.

Tapi kawan, hal paling menarik dari kehidupan adalah kau tak pernah tau apa yang akan kau hadapi untuk hari esok. Tak pernah sedikitpun kau tau. Seperti itulah aku, aku yang khawatir besok tak bisa makan, besok tak bisa bayar kontrakan, besok tak bisa bayar hutang. Seperti itulah aku yang masih khawatir tentang hari esok padahal Tuhan jelas jelas menjamin kehidupanku. Padahal Tuhan jelas jelas menjamin makanku dengan ayatnya di akhir surah Al Quraisy.

Aku tak kuasa hidup dengan cacian, hidup dengan kemiskinan padahal jelas jelas aku tau bahwa Tuhanku adalah yang maha kaya. Tapi kawan, hatiku terbatas, aku memilih jalan lain untuk makan, bayar kontrakan, bayar utang. Dari berbagai penolakan lamaran kerja, aku memilih menjadi pekerja seks komersil, menjadi pelacur, menjadi sehina-hina nya perempuan.

Dan aku sudah disini, ditempat penuh botol botol bir, berkrat krat whiskey. Aku sudah disini kawan, terbelenggu dengan sehina-hina perkerjaan. Aku sudah disini, duduk menunggu lelaki yang menyambangiku, lalu tawar menawar, masuk kamar satu-dua jam, membuatku menjadi lebih hina, begitu seterusnya sepanjang malam.

Hutang hutangku terbayar, aku sudah tak pusing mikir bayar kontrakan, makan sudah tak pusing memilih lauk.

Comments

Popular posts from this blog

Tapi, Indramayu adalah Romantisme

Dadaku pernah mendesir selagi menyaksikan rusa-rusa diberi makan oleh mereka yang berbahagia di Ranca Upas, di Bandung. Menjaring kabut di Lembang, bercengkrama dengan dingin yang menyapa sampai kulit terdalam. Aku pernah, menikmati ombak lemah-lembut di pantai di Gunung Kidul. Pasir putih dan tebing yang indahnya bukan main. Atau diterjang ombak besar di pantai Trisik, di Jogja. Memetik buah naga di sepanjang pekarangan di dekat pantainya. Menyapa angin pantai yang tiupannya membuat rambut gondrongku tertiup angin kesana-kemari. Menelusuri keraton dan bertukar cerita di salah satu angkringan di dekat alun-alun Kidul. Atau bercengkrama disela-sela belanja di pasar Beringharjo yang khasnya tak pernah lekang oleh waktu. Bersantap nasi kucing dengan lauk beberapa tusuk usus dan sate telor puyuh, dan sejuta keramahan yang tersimpan rapih di sudut-sudut kota. Bandung adalah tempat paling tepat bagi siapapun yang mau menaruh sejuta luka, melupakannya sejenak dan menikmati segala pernak-pe

Gadis Lima Belas Tahun

Lalu, gadis berumur lima belas tahun itu menghampiriku perlahan, sambil melambai manja ia menawarkan: "Dua ratus lima puluh ribu, mas." Aku hanya senyum sekadar senyum. "Umurmu berapa, dek?" "Lima belas tahun, mas." "Bukankah tak baik gadis lima belas tahun di sini?" Lalu, hening sesaat. Sesak dadaku berpikir kalau-kalau ucapanku menyinggung perasaannya. "Hidup tak hanya tentang baik dan buruk, mas. Setidaknya begitu menurut saya."

Bocah Cadel Lampu Merah - Morfem

Ku menghentikan motorku Di lampu merah selatan Jam sebelas di arloji Kurapatkanlah jaketku Dan, berkhayal telah di rumah Seorang bocah lelaki Yang belum lancar bicara Mendekati dengan senyum Dan tangan yang menengadah Sepertinya hanya itu Yang baru sempat diajarkan Oleh Ibunya Ia bermain, besar di trotoar Diterangi, hangat lampu jalan Nyanyi riuh klakson, debu Ia dibuai, caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Mendung siang hari, peluh Bermandi hujan di aspal Malam silih berganti Pasti jumpa dirinya Kini mulai bisa nyanyi Lagu yang sering di TV Walaupun cadel lidahnya Ia bermain besar di trotoar Diterangi hangat lampu jalan Ia dibuai caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Nyanyi riuh klakson, peluh Bermandi hujan di aspal Tampak ibunya bangga Di kejauhan berkipas Sambil nikmati limunnya