Skip to main content

Untuk Kamu, Lelaki Penggila Buku

Minder adalah sikap rendah diri.

Aku minder berada dekat denganmu, dekat dengan lelaki sepertimu. Aku minder dengan teman temanmu. Aku minder dengan mantanmu.

Perempuan jalang sepertiku mampukah memberi sekeping memori yang bisa kau ingat? Perempuan tak punya apa apa sepertiku bisakah memberi kenangan kepadamu yang ketika kau mengingatnya kau mengingatku juga? Entah, aku tak berani menebak nebak pertanyaan absurd dari pikiran pikiran liarku.

Kamu membuatku benar benar gila setelah sabtu malam itu. Kamu datang bergerombol dengan teman temanmu, hanya kamu yang kulihat tak banyak bergerak, kamu seperti tak tau apa yang harus dilakukan lelaki di klub. Kamu hanya duduk duduk statis sementara teman temanmu asik berjoget dilantai.

Lalu kamu cuma melempar senyum yang kutau sangat dipaksa ketika pertama kudekati. Kamu benar benar membuatku penasaran. Lelaki macam apa yang pergi ke klub tapi hanya duduk? Malah dengan tak sengaja aku melihatmu sedang membaca surah Al-Ikhlas lewat ponsel berukuran 5 inchi punyamu. Sebenarnya kamu ini makhluk macam apa?

Aku mulai hafal ketika tiga kali kamu dengan temanmu temanmu berkunjung ke klub. Kalian selalu datang tepat sabtu malam diakhir bulan. Dan yang kutau kamu tak pernah berubah, duduk dikursi berjam jam selagi teman temanmu asik main gila dengan perempuan, asik berjoget dilantai dansa, kamu tetap disana, duduk dengan tenang sambil membaca ayat ayat atau belakangan kutau kamu juga membaca novel lewat ebook diponselmu itu. Dengar, lelaki yang entah siapa, apa maksudmu datang ke klub hanya untuk duduk duduk, membaca, pesan air putih lalu pulang?

Barulah dikunjungan keenammu ke klub, aku tak hanya ingin menjadi penikmat dudukmu dari jauh, kuberanikan diri untuk menyapamu --perempuan lain diklub  sudah bosan menggoda lelaki doyan duduk ini-- dan seperti pertama aku mendekati, kamu cuma senyum, menatap mataku lamat lalu kembali asik dengan ponsel genggammu.

Jika kamu ingat, aku membuka obrolan dengan tak menawarkanmu minuman, dengan tak menawarkanmu perempuan.

"Suka novel juga mas?" Kamu kembali tersenyum, menatapku jauh dan malah balik bertanya, apa apaan ini? "Kamu suka novel juga?" Aku berbohong waktu itu, untukmu, maaf aku harus bohong, maaf. Aku jawab "Iya suka". Kamu malah antusias, selama kamu berkunjung tak pernah aku lihat gerakan selain duduk dudukmu, selain kamu memegang ponsel genggammu, tapi malam itu kamu membuat gerakan baru.

Kamu beranjak dari layar berukuran 5 inchi itu, menaruhnya dimeja dan kembali bertanya padaku, "Iya aku suka novel. Kamu paling suka novel apa?" aku terpaku, kebohonganku tak boleh kamu tau, "Novel fiksi ilmiah mas, saya suka sains". Aku bahkan baru kemarin mendengar kata "Fiksi Ilmiah", tak sedikitpun aku tau apa artinya. Aku hanya ingin terlihat menjadi perempuan yang punya kelas dimatamu malam itu. Tapi kenapa kamu harus membuatku pusing dengan pertanyaan tambahan darimu tentang novel? Ayolah, aku bukan tipe manusia yang suka membaca, bukan, aku tak pernah sampai tuntas membaca buku, membaca novel, bahkan membaca koran pun hanya seperlunya.

"Keren.. Kamu paling suka novel fiksi yang judulnya apa?" Mati! Seketika aku meradang, harus kujawab apa? Tak mungkin aku mendekat ke telingamu lalu berbisik, "Aku sebenarnya berbohong, aku tak suka novel, aku hanya ingin terlihat keren, terlebih agar bisa ngobrol denganmu, mas mas pecinta duduk duduk di klub". Tak mungkin aku bertindak sebodoh itu. Tapi syukur aku tau film, dan lebih syukur aku tau film itu diangkat dari novel, novel best seller. Sekenanya aku jawab "Laskar Pelangi mas"

Raut bingung jelas tak bisa kamu tutupi malam itu. Aku terlalu tak mengerti kenapa kamu sebingung itu. Dan belakangan aku tau, mungkin kebingunganmu karena Laskar Pelangi bukan novel fiksi ilmiah.

Sejak hari itu kamu semakin rajin datang ke klub, kita sering bertemu, begitupun aku, kamu jadi sering tertawa, kita terbahak bahak membaca komik Doraemon di klub. Lalu kamu sering datang dengan buku buku yang kamu beri untukku, novel, komik, apa saja yang berbentuk buku.

Kita sering ngobrol kesana kemari, disaat teman temanmu sedang asik dilantai dansa, sedang asik dengan perempuan, kamu sudah tak lagi duduk duduk sendirian, kamu duduk denganku. Membahas segala hal yang bisa dibahas, denganmu aku tau, lelaki tak semuanya menyebalkan.

Karenamu aku menjadi lebih bermakna, menjadi lebih riang menghadapi tamu tamuku dikamar, aku jadi lebih mampu mengurangi obat obatan, aku jadi lebih mampu untuk segala hal.

Diluar klub, kita sesekali jalan keluar, sekedar makan siang, mengantarmu membeli buku-yang kamu juga membelikanku buku, menertawai hal hal yang mungkin bagi orang lain tak lucu. Kamu benar benar menyadarkanku akan banyak hal. Kamu datang seolah olah Tuhan sengaja menghadirkanmu untukku, dan aku begitu bahagia. Karenamu.

Dan entah apa yang sekarang aku rasakan, entah cinta entah hanya sekedar rasa senang yang meluap luap yang tak mampu kutampung. Tapi lebih jauh dari itu, aku mau menjadi tempatmu berkeluh kesah, tempatmu mencurahkan keresahanmu, tempatmu tersenyum dan berbagi tawa. Aku mau.

Aku minder. Memang. Sudah kuceritakan itu kepadamu. Meskipun kamu hanya tersenyum, mengatakan dengan lembut untuk aku membuang minderku jauh jauh. Tapi aku tetap saja minder. Minder dengan teman temanmu yang highclass, minder dengan mantanmu yang cantik cantik, meskipun kita belum menjadi apa apa, tapi minder itu datang ketika aku bersamamu, aku selalu menemukan alasan untuk aku tak pantas berlama lama denganmu. Bahkan aku minder denganmu, kamu lelaki yang tak pernah absen membaca ayat ayat Tuhan, kamu lelaki yang datang dari keluarga baik baik, lelaki baik baik, lelaki mapan dan baik hati. Sedang aku? Tak usah kuceritakan, kamu sudah tau segalanya.

Meskipun kamu pernah bilang, "Ngga ada yang tau apa yang ada di kepala manusia, aku juga ngga tau mungkin setiap di bar, di klub, kamu memang tak membaca kitab suci tapi mungkin saja kepalamu penuh dengan dzikir, tahlil, ngga ada yang tau. Begitupun aku, aku membaca Al-Quran, tapi siapa yang tau mungkin kepalaku lebih bejat dari apa yang kamu lakukan."

Tapi tetap saja minder itu selalu ada, rasa tak pantas itu selalu muncul.

Lepas dari apapapun yang berkaitan dengan perasaanku dan perasaanmu, aku mau menjadi memori yang bisa selalu km ingat, menjadi sesuatu yang ketika kamu mengingatnya kamu bisa ketawa ketawa tak jelas, bisa senyum senyum tak karuan. Aku mau menjadi memori yang tak mudah kau buang, yang tak mudah kau lupakan.

Untuk kamu, yang dua jam yang lalu pamit pergi sehabis membuatku tertawa tak henti. Aku diam diam mencintaimu.

Comments

Popular posts from this blog

Tapi, Indramayu adalah Romantisme

Dadaku pernah mendesir selagi menyaksikan rusa-rusa diberi makan oleh mereka yang berbahagia di Ranca Upas, di Bandung. Menjaring kabut di Lembang, bercengkrama dengan dingin yang menyapa sampai kulit terdalam. Aku pernah, menikmati ombak lemah-lembut di pantai di Gunung Kidul. Pasir putih dan tebing yang indahnya bukan main. Atau diterjang ombak besar di pantai Trisik, di Jogja. Memetik buah naga di sepanjang pekarangan di dekat pantainya. Menyapa angin pantai yang tiupannya membuat rambut gondrongku tertiup angin kesana-kemari. Menelusuri keraton dan bertukar cerita di salah satu angkringan di dekat alun-alun Kidul. Atau bercengkrama disela-sela belanja di pasar Beringharjo yang khasnya tak pernah lekang oleh waktu. Bersantap nasi kucing dengan lauk beberapa tusuk usus dan sate telor puyuh, dan sejuta keramahan yang tersimpan rapih di sudut-sudut kota. Bandung adalah tempat paling tepat bagi siapapun yang mau menaruh sejuta luka, melupakannya sejenak dan menikmati segala pernak-pe

Gadis Lima Belas Tahun

Lalu, gadis berumur lima belas tahun itu menghampiriku perlahan, sambil melambai manja ia menawarkan: "Dua ratus lima puluh ribu, mas." Aku hanya senyum sekadar senyum. "Umurmu berapa, dek?" "Lima belas tahun, mas." "Bukankah tak baik gadis lima belas tahun di sini?" Lalu, hening sesaat. Sesak dadaku berpikir kalau-kalau ucapanku menyinggung perasaannya. "Hidup tak hanya tentang baik dan buruk, mas. Setidaknya begitu menurut saya."

Bocah Cadel Lampu Merah - Morfem

Ku menghentikan motorku Di lampu merah selatan Jam sebelas di arloji Kurapatkanlah jaketku Dan, berkhayal telah di rumah Seorang bocah lelaki Yang belum lancar bicara Mendekati dengan senyum Dan tangan yang menengadah Sepertinya hanya itu Yang baru sempat diajarkan Oleh Ibunya Ia bermain, besar di trotoar Diterangi, hangat lampu jalan Nyanyi riuh klakson, debu Ia dibuai, caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Mendung siang hari, peluh Bermandi hujan di aspal Malam silih berganti Pasti jumpa dirinya Kini mulai bisa nyanyi Lagu yang sering di TV Walaupun cadel lidahnya Ia bermain besar di trotoar Diterangi hangat lampu jalan Ia dibuai caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Nyanyi riuh klakson, peluh Bermandi hujan di aspal Tampak ibunya bangga Di kejauhan berkipas Sambil nikmati limunnya