Skip to main content

Anak-Anak

Ada yang lebih aku sukai ketimbang libur menjadi pelacur, aku suka melihat anak-anak bermain.

Sepulang dari pasar membeli sayur dan bahan makan untuk sehari, aku memilih pulang dengan jalan kaki. Aku punya cukup uang untuk naik ojek, tapi pagi itu memaksaku menggunakan kaki-ku untuk melangkah.

Setelah melewati beberapa rumah dan gang, perjalanan pulangku terhenti di depan sebuah sekolah dasar. Aku duduk, kuluruskan kakiku kedepan sambil memesan minuman botol, pagi itu seperti waktu menungguku, aku tak tergesa-gesa untuk sampai kerumah, aku tak merasa dikejar-kejar 'setoran', waktu dan diriku begitu mesra, kita seperti saling menunggu satu sama lain.

Jam sembilan pagi. Didepanku tepat gerbang pintu sekolah, anak anak berhamburan keluar membeli jajanan, ada yang sekedar duduk duduk, ada yang sedang main petak umpet, macam-macam. Mereka tertawa-tawa, terbahak-bahak, sedang aku duduk dengan leganya, kuukir senyuman dibibirku, tak jelas kemana arah senyumanku.

Dalam hatiku, tak ada yang lebih menyenangkan selain memandangi anak anak bermain, selain melihat mereka tertawa-tawa, tak ada, tak ada lagi yang lebih menyenangkan dari itu. Anak anak didalam imajinasiku adalah jiwa jiwa yang jujur, jiwa jiwa yang bersih, pribadi yang paling manusiawi.

Masa kanak-kanakku jauh lebih menyenangkan dari masa dewasaku, dari masaku hari ini. Masa kecilku habis dengan makna-makna yang sampai tak bisa kujelaskan. Aku pernah jatuh dari sepeda, tapi tangisannya tak bertahan lama. Aku pernah jatuh tersungkur ketika mau sembunyi main petak umpet, tapi lukanya sudah hilang, sakitnya lekas pergi. Aku pernah menangis ditanya PR matematika yang belum kukerjakan SD dulu, tapi tangisan itu sesaat, lekas pergi. Hal hal kecil yang sulit kutemukan hari ini dalam hidupku.

Setelah melihat anak-anak didepanku ribut membeli jajanan, tiba-tiba aku merasa rindu, rindu masa masa emas dalam hidupku. Aku rindu ibu ketika menguncir rambut panjangku, aku rindu mencium tangannya sebelum pergi ke sekolah, lalu ia tak pernah mengalihkan pandangannya sedetikpun dari tubuhku, mengamati gerak gerikku, jika baju atau sesuatu apapun yang melekat padaku terlihat kurang rapih, seketika ia menghampiriku, merapihkan pakaianku untuk keduakalinya.

Sewaktu kelas tiga sekolah dasar, aku pernah pulang lebih cepat dari jam pulang sekolah. Ibu sedang masak, aku menghampirinya di dapur, ia memeluk erat tubuh kecilku, panik kenapa aku pulang lebih cepat. Hari itu aku tak enak badan, ibu yang kutau sambil menahan lelahnya, segera mengganti pakaianku, menemaniku tidur dan membelikan obat untuk kesembuhanku.

Cerita masa kecilku tak bisa lepas dari ibu, perempuan yang entah mesti digambarkan bagaimana untuk melukiskan kebesaran hatinya. Ibu, perempuan yang sewaktu aku kanak-kanak selalu mencium keningku ketika aku tidur, perempuan yang panik meskipun aku cuma terpeleset, perempuan yang tak pernah lelah memberi cintanya kepadaku.

Sekarang mataku berkaca-kaca, anak anak itu masih asik berebut siapa lebih dulu membeli jajanan, aku masih duduk dengan posisi kaki lurus kedepan. Aku selalu suka anak-anak, mereka lucu, jujur, ajaib. Dulu sewaktu masih di kontrakan 'mami' aku sering melihat anak anak berlarian, kesana kemari tanpa tujuan, ada yang main bola, ada yang main kelereng, macam-macam. Mereka berkumpul diwaktu sore, seakan sengaja untuk menghibur pikiranku yang kacau. Aku selalu merasa tak kesepian dengan adanya mereka. Aku suka anak-anak. Aku suka.

Sudah pukul setengah sepuluh, waktunya jam istirahat berakhir. Anak-anak itu berlarian memasuki sekolah, ada yang masih memegang jajanan, ada yang sambil balapan masuk kelas siapa duluan, ada yang santai sambil terbahak-bahak entah menertawakan apa, macam-macam. Tak ada beban yang harus ditangisi dipundak mereka, tak ada yang pikiran pikiran mengganggu tidur mereka, selain kalah bermain kelereng atau petak umpet, tak adalagi kesedihan yang harus mereka tangisi.

Aku duduk menikmati minumanku selama setengah jam, tapi pikiranku mengajak pergi kesegala hal, seperti aku sudah berjam-jam menghabiskan waktu pulangku dari pasar. Ini hal sederhana, cuma mampir sebentar melihat anak-anak berlarian dijam istirahat. Tapi aku tau, semua hal yang kuanggap sederhana sebenarnya tak pernah sesedarhana itu.

Comments

Popular posts from this blog

Suatu Hari Anakmu

--- digubah dari tulisan Bhagavad Sambadha Suatu hari anakmu melihat seorang mahasiswa menangis di lorong gelap di salah satu gedung, setelah sebelumnya bertemu ketua dekan untuk nego bayaran kuliah. Mahasiswa itu tidak pernah sekalipun dalam hidupnya takut di-DO, ia hanya takut orang tuanya kelelahan mencari dana selagi dirinya menjadi pelajar. Suatu hari anakmu melihat bocah umur lima belas tahun bekerja siang malam demi nasi dan lauk yang dimakan oleh dirinya dan adik-adik. Di tempatnya bekerja, keringat dan air yang mengalir di wastafel di kampus anakmu belajar mungkin sama derasnya. Bocah itu tidak pernah sekalipun dalam hidupnya takut kelaparan, ia hanya takut orang tuanya kekeringan keringat selagi ia dan adik-adik asik menyantap makanan. Suatu hari anakmu melihat seorang remaja seumur SMP dan SMA menjajakan tissue di bawah lampu merah di mana orang-orang mengumpat karena panas dan dikejar waktu. Di sana, matahari bahkan lebih menakutkan dari perut kosong, karena panasnya tak bi...

KETAKUTAN ITU WAJAR

Perang Mu’tah, adalah perang yang secara rasio tak akan membuat manusia optimis apalagi yakin dengan kemenangan yang dijanjikan. Bayangkan saja, jumlah pasukan Romawi yang berkumpul pada hari itu lebih dari 200.000 tentara, lengkap dengan baju perang yang gagah, panji-panji dari kain sutra, senjata-senjata yang perkasa, lalu dengan kuda-kuda yang juga siap dipacu. Abu Hurairah bersaksi atas perang ini. ”Aku menyaksikan Perang Mu’tah. Ketika kami berdekatan dengan orang-orang musyrik. Kami melihat pemandangan yang tiada bandingnya. Jumlah pasukan dan senjatanya, kuda dan kain sutra, juga emas. Sehingga mataku terasa silau,” ujar Abu Hurairah.  Sebelum melihatnya, pasukan para sahabat yang hanya berjumlah 3.000 orang-orang beriman, sudah mendengar kabar tentang besarnya pasukan lawan. Sampai-sampai mereka mengajukan berbagai pendapat, untuk memikirkan jalan keluar. Ada yang berpendapat agar pasukan Islam mengirimkan surat kepada Rasulullah saw, mengabarkan jumlah mu...

Di Stasiun

Di stasiun, orang-orang berkumpul, saling berpelukan, cium-cium kecil pipi atau kening masing-masing dari mereka, atau yang paling sederhana, sekedar salaman penuh makna. Semuanya melepas rindu, sebelum waktu merenggutnya. Lempuyangan, 2018