Skip to main content

Mami

Empat tahun yang lalu, mami memberiku peluang untuk hidup yang menurutnya lebih berhak aku dapatkan. Aku tak pernah mengerti apa maksudnya ketika ia bilang bahwa perempuan bisa menjadi harta, menjadi emas, menjadi uang hanya bermodal tubuhnya. Aku terlalu putih untuk kopi yang mami tuangkan, tak bisa kunikmati, hanya kutenggak perlahan lahan sampai aku terbiasa dengan pahitnya.

Mami memberiku segalanya. Kost-an yang cukup lebar, lengkap dengan segala apapun yang dibutuhkan, listrik, TV, AC, kasur yang empuk, bersih dan macam macam barang yang sudah tertata rapih ketika aku menempati kamar kost mami yang diberikan kepadaku. Aku seperti dibawa terbang, semua yang kubutuhkan langsung dibawakan, dihadirkan cuma untuk menyenangkanku.

Mami, sampai hari ini aku pergi dari rumahnya secara baik baik, tak pernah aku merasa tak enak hati karena kata katanya, karena perbuatannya. Mami, meskipun pekerjaannya tak baik, meskipun yang ia lakukan sama sekali tak boleh ditiru oleh siapapun, tapi sebenarnya mami sendiri adalah perempuan yang baik, perempuan berumur 40 tahunan yang pintar mengendalikan emosinya. Mami selalu ramah, kepada tamu maupun 'anak-anaknya'. Sampai aku memutuskan untuk berhenti hidup dari pekerjaan yang ia sediakan, mami tak marah sedikitpun. Aku ingat, mami tersenyum sambil memelukku erat, mengatakan dengan lembut seuntai doa atau harapan atau apalah aku tak paham. Mami memberiku uang lebih dari kantong pribadinya, ongkos untuk aku memulai hidup baru.

Aku ingat tamu pertamaku, aku masih canggung, tegang merajai sekujur tubuhku, lalu mami dengan lembutnya memberi tahu tamu pertamaku untuk bermain dengan tak tergesa-gesa. Mami seperti jiwaku yang berada ditubuh yang lain, ia selalu mengerti apapun yang kupikirkan. Mami, tempat lain aku menangis, mencurahkan segala isi kepala yang membuat pikiranku beku. Mami begitu menyayangiku dengan lembutnya, membuat 'anak anaknya' yang lain sampai harus membenciku.

Ketika aku hampir mati karena tamu yang menggila, mami datang dengan matanya yang memerah, dengan wajahnya yang samasekali tak bersahabat. Mami memaki dengan sekuat yang ia bisa, membelaku dengan penuh hati yang ia punya. Kejadian itu sudah hampir dua tahun yang lalu, aku mendapat tamu kalap yang sialnya malam itu ia sedang kalah berjudi, emosinya meluap luap, aku dicekik, dipaksa untuk melayaninya terus menerus. Aku menangis dengan air mata yang membasahi pipi, aku sempat mau keluar kamar, tapi tiap kali aku melakukannya tamu itu semakin menjadi untuk menyiksaku, seperti aku diciptakan hanya untuk dirinya. Untung malam itu mami tau, mendengar tangisanku dari luar kamar, mendadak pintu terbuka dengan paksaan dua anak buah mami yang badannya lebih besar dari tamuku yang gila. Malam itu pertama kali aku melihat mami marah besar dihadapanku, terlebih karena membelaku.

Setelah kejadian itu aku semakin dekat dengan mami, mami bagiku bukan cuma sekedar bos, bukan cuma sekedar atasan, lebih jauh dari itu mami sudah seperti keluargaku sendiri. Aku pernah menangis sampai lupa diriku, dipangkuan mami. Aku pernah tertawa sampai lupa masalahku, dengan mami.

Sampai hari ini aku lepas dari sosoknya, aku seperti masih hidup bersamanya. Aku sering menghubunginya lewat telepon, sekedar memberi kabar atau saling bercerita. Aku tau yang mami lakukan bukanlah sesuatu yang baik, tapi aku harus menyadari bahwa hidup tak hanya sekedar baik dan tidak baik. Hidup lebih dari itu, dan kurasa mami sudah membuktikannya.

Comments

Popular posts from this blog

Gadis Lima Belas Tahun

Lalu, gadis berumur lima belas tahun itu menghampiriku perlahan, sambil melambai manja ia menawarkan: "Dua ratus lima puluh ribu, mas." Aku hanya senyum sekadar senyum. "Umurmu berapa, dek?" "Lima belas tahun, mas." "Bukankah tak baik gadis lima belas tahun di sini?" Lalu, hening sesaat. Sesak dadaku berpikir kalau-kalau ucapanku menyinggung perasaannya. "Hidup tak hanya tentang baik dan buruk, mas. Setidaknya begitu menurut saya."

Tapi, Indramayu adalah Romantisme

Dadaku pernah mendesir selagi menyaksikan rusa-rusa diberi makan oleh mereka yang berbahagia di Ranca Upas, di Bandung. Menjaring kabut di Lembang, bercengkrama dengan dingin yang menyapa sampai kulit terdalam. Aku pernah, menikmati ombak lemah-lembut di pantai di Gunung Kidul. Pasir putih dan tebing yang indahnya bukan main. Atau diterjang ombak besar di pantai Trisik, di Jogja. Memetik buah naga di sepanjang pekarangan di dekat pantainya. Menyapa angin pantai yang tiupannya membuat rambut gondrongku tertiup angin kesana-kemari. Menelusuri keraton dan bertukar cerita di salah satu angkringan di dekat alun-alun Kidul. Atau bercengkrama disela-sela belanja di pasar Beringharjo yang khasnya tak pernah lekang oleh waktu. Bersantap nasi kucing dengan lauk beberapa tusuk usus dan sate telor puyuh, dan sejuta keramahan yang tersimpan rapih di sudut-sudut kota. Bandung adalah tempat paling tepat bagi siapapun yang mau menaruh sejuta luka, melupakannya sejenak dan menikmati segala pernak-pe

Bocah Cadel Lampu Merah - Morfem

Ku menghentikan motorku Di lampu merah selatan Jam sebelas di arloji Kurapatkanlah jaketku Dan, berkhayal telah di rumah Seorang bocah lelaki Yang belum lancar bicara Mendekati dengan senyum Dan tangan yang menengadah Sepertinya hanya itu Yang baru sempat diajarkan Oleh Ibunya Ia bermain, besar di trotoar Diterangi, hangat lampu jalan Nyanyi riuh klakson, debu Ia dibuai, caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Mendung siang hari, peluh Bermandi hujan di aspal Malam silih berganti Pasti jumpa dirinya Kini mulai bisa nyanyi Lagu yang sering di TV Walaupun cadel lidahnya Ia bermain besar di trotoar Diterangi hangat lampu jalan Ia dibuai caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Nyanyi riuh klakson, peluh Bermandi hujan di aspal Tampak ibunya bangga Di kejauhan berkipas Sambil nikmati limunnya