Skip to main content

Mimisan

Pagi itu aku tertegun, aku tak percaya dengan penglihatanku sendiri.

Hidungku seperti berada diluar kontrol, pagi itu aku merasa pusing, aku mencoba duduk tapi tiba tiba darah keluar dari satu sisi hidungku. Aku tertegun, tak percaya pada pandanganku, lalu pusing datang menyusul, seolah tak mau kalah dengan kehadiran darah dihidungku.

Aku panik, kulucuti jaketku dengan tergesa gesa, mencoba sekuat hati menahan darah yang seakan berontak ingin keluar dari hidungku secara bersamaan. Aku duduk dengan gerakan yang tak bisa kuingat lagi. Bersamaan dengan setiap tetes darah yang mengucur, kepalaku sangat pusing, pusing yang tak bisa kugambarkan dalam media apapun.

Dua jam lalu, meskipun letih dan lemas menghampiri, aku masih sehat, masih bisa membedakan antara wajah manusia dengan hewan, masih bisa membedakan warna warna. Dua jam lalu aku masih bisa melayani tamu keduabelasku dikamar, seperti biasanya. Dua jam lalu, meskipun pusing dan keseimbangan mulai pudar, aku masih mampu menenggak bir dan menambah pil.

Tapi kini? Aku terkulai tak karuan seakan sedang menunggu malaikat maut menjemputku. Darah yang mengalir keluar dari hidungku tak mampu kuredam, aku benar benar panik. Ini jam empat pagi dan selain diriku, tak ada lagi orang dikamar ini. Aku sendirian, menahan pilu,  menahan letih, menahan sakit kepala yang luar biasa.

Jaket kesayanganku berwarna gold pemberian tamu mendadak berubah warna, penuh merah darah, mengkilat, berkumpul dengan gumpalan-gumpalan kecil yang namanya entah harus kusebut apa. Sambil menangis sebagaimana perempuan yang panik melihat darah dari bagian tubuhnya, aku terus mengusap jaket kulitku ke hidung dengan harapan yang luas bahwa darah berhenti seketika. Tapi sebagaimana biasanya, harapanku cuma sekedar harapan, darahnya tetap saja menempel dijaket kesayangku, menandakan kepanikan ini masih terus berlanjut.

Parfum dijaketku sudah tak lagi tercium, sisi hidung bagian kanan yang tak berdarah memberitahuku, jaketku amis, amis yang belum pernah kucium sebelumnya yang sumbernya berasal dari darah dihidungku. Aku merana, seakan beban beban dan penderitaanku berkumpul pada situasi yang sama, seakan mereka meledekku dan aku tak mampu melawan. Aku sadar ini bukan mimisan biasa, bukan mimisan yang disebabkan oleh penyakit biasa, aku tau.

Setelah tangan dan jaket kesayanganku dipenuhi darah, seakan darah darah itu sudah puas membuatku menangis, ia berhenti keluar dari hidungku. Mimisan itu sudah berakhir. Darah darah itu, meskipun sudah bertumpuk di jaket dan lenganku, akhirnya ia tak lagi keluar. Tapi aku masih menangis, beban beban itu masih bertumpu diatas kepalaku, memaksaku untuk terus menangis, memaksaku untuk terus bersedih.

Apalagi ini? Tiba tiba lukisan lukisan masa aku kanak kanak melintas dipikiranku, mengingatkan saat aku jatuh dari sepeda SD dulu, saat aku berlari lari bersama teman teman sebayaku, saat aku bermain main bersama mereka. Mendadak, airmataku mengalir lebih deras, menceritakan kesakitanku. Seketika aku tuli, buta, seketika kulihat bayanganku terduduk sendiri entah sedang apa.

Tuhan, aku tau, aku pelacur, aku manusia paling disingkirkan di lingkungan sosialku. Aku tau mungkin ini caramu mengingatkanku tentang kesalahan kesalahanku yang sudah pasti tak bisa kuhitung satu persatu. Aku paham.

Aku menangis tanpa peduli waktu, tanpa peduli ternyata sudah mendekati pukul lima pagi. Aku hanya peduli pada bayanganku, bayangan ketika aku melihat diriku ketawa tak jelas entah apa sebabnya, kulihat saat aku melayani tamu tamuku, gambaran gambaran itu begitu jelas, seakan aku penonton yang sedang menikmati film yang semua adegan dan pemainnya adalah diriku sendiri.

Aku tau mimisanku selama hampir satu jam tadi bukan sekedar mimisan karena kelelahan. Aku tau mimisanku bisa saja karena aku terlalu sering mengonsumsi pil tak jelas, obat obatan yang tak dianjurkan untuk orang waras, bisa saja mimisanku oleh karena aku terlalu bersahabat dengan minuman yang kadar alkoholnya tinggi yang jelas jelas merusak organ tubuhku.

Entah karena apa aku masih menangis, beban bebanku masih betah untuk berlama lama bersamaku. Aku takut. Aku mau berhenti. Entah bisa, entah tidak. Aku tau mimisanku bukan hal sepele yang harus kulupakan begitu saja. Aku tau ini serius. Aku tak mau lagi mimisan mimisan berikutnya yang menguras airmata.

Aku masih terduduk setengah menyandar ditembok. Ruangan ini terlalu sempit untuk menampung ketakutan dan kepanikanku. Aku muak! Setelah ini apalagi? Aku mau berhenti, Tuhan. Sudah, aku tak mau lagi beban beban yang tercipta oleh karena ulahku sendiri.

Entah malam nanti harus kubilang apa pada mami-ku, aku mau keluar dari tempat itu, aku muak, muak yang sudah lama ingin kumuntahkan. Aku terlalu takut dengan ini, terlalu.

Jika boleh, Tuhan, aku mau untuk masa depanku diganti dengan hari hari sewaktu aku masih belia, masih asik bermain. Aku hanya mau itu, tak usah barang mewah yang ketika orang melihatnya membuatku besar kepala, tak usah uang berlimpah, tak usah apapun, cukup hari hari seperti masa kecilku. Hari hari sewaktu aku tak kenal dunia malam, tak kenal minum minuman keras dan obat obatan, hari hariku yang tak tau bahwa lelaki begitu buas. Aku hanya mau itu. Dan terimakasih Tuhan, sudah membuat subuh ini berbeda, membuat aku menyadari subuh yang ternyata amat berharga.

Aku sudah berhenti menangis, kepanikanku sudah sedikit mereda, ketakutanku meskipun masih membungkus tubuh, tapi aku sudah berani membuka mataku. Meskipun penglihatanku agak kabur dan buram, aku sudah berani melihat. Entah hari hari seperti apa yang akan kujalani, aku tak mau lagi menjadi penjerat nafsu suami orang, aku ingin berhenti. Sungguh sungguh. Semoga bukan hanya kata kata dan do'a, tuntun aku, Tuhan, aku butuh pelukanmu.

Tak terasa sudah pukul setengah enam. Perlahan sudah masuk sinar matahari dikamarku, membuat semakin jelas tangan dan jaket yang penuh darah dipangkuanku.

Aku begitu terpuruk, sebagai perempuan yang pekerjaannya ditiduri suami orang ataupun lelaki lain, aku harus tetap tersenyum ketika diklub ataupun dirumah mami, apapun keadaan hatiku, kebohongan yang kulakukan berulang ulang. Tapi hari ini kebohongan itu tak bisa kulakukan, aku begitu hancur. Hari ini aku sadar satu hal bahwa hidup, setidaknya hidupku, tak selamanya menawarkan hal hal yang menyenangkan. Dibalik itu, ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata kata. Senang yang terlalu senang, sedih yang terlalu sedih. Tak tau harus apa kusebut perasaan itu. Tapi kurasa aku sudah mengalami keduanya, dan aku suka. Bukan suka dengan kesedihan dan kesakitan yang ada, tapi aku suka dengan cara Tuhan mengingatkanku melalui perasaan perasaan itu, melalui kesedihan, kesakitan, kehancuran, kepanikan, dan hal hal lainya yang tak menyenangkan.

Dua jam yang lalu, aku merasa seperti mau mati. Aku tak percaya mimisan macam apa yang membawa luka sedalam itu sampai sampai aku tak sadar bahwa aku masih hidup. Terlalu sakit. Tapi sekarang, aku sadar semuanya punya sebab, aku tak mau lagi menjadi pelacur, sudah cukup, aku letih membohongi diri. Aku mau berkemas, merapihkan diri, mungkin pagi ini mandiku lebih lama dari pagi pagi sebelumnya, aku mau berdandan sehabis itu, bukan sebagai pelacur tapi sebagai perempuan sebagimana seharusnya. Aku mau ke klinik, biar saja menunggu disana sampai kliniknya buka. Aku benar benar harus peduli dengan mimisanku, aku mau berbincang dan menceritakan semuanya dengan dokter. Sudah kututup masa lalu itu dalam dalam, aku tak mau lagi menggalinya. Ini jam enam pagi, tapi aku terlalu bersemangat untuk melawan mentari yang selama ini selalu kulewatkan. Lega. Semoga penyakitku tidak terlalu serius, semoga cuma mimisan biasa.

Comments

Popular posts from this blog

Gadis Lima Belas Tahun

Lalu, gadis berumur lima belas tahun itu menghampiriku perlahan, sambil melambai manja ia menawarkan: "Dua ratus lima puluh ribu, mas." Aku hanya senyum sekadar senyum. "Umurmu berapa, dek?" "Lima belas tahun, mas." "Bukankah tak baik gadis lima belas tahun di sini?" Lalu, hening sesaat. Sesak dadaku berpikir kalau-kalau ucapanku menyinggung perasaannya. "Hidup tak hanya tentang baik dan buruk, mas. Setidaknya begitu menurut saya."

Tapi, Indramayu adalah Romantisme

Dadaku pernah mendesir selagi menyaksikan rusa-rusa diberi makan oleh mereka yang berbahagia di Ranca Upas, di Bandung. Menjaring kabut di Lembang, bercengkrama dengan dingin yang menyapa sampai kulit terdalam. Aku pernah, menikmati ombak lemah-lembut di pantai di Gunung Kidul. Pasir putih dan tebing yang indahnya bukan main. Atau diterjang ombak besar di pantai Trisik, di Jogja. Memetik buah naga di sepanjang pekarangan di dekat pantainya. Menyapa angin pantai yang tiupannya membuat rambut gondrongku tertiup angin kesana-kemari. Menelusuri keraton dan bertukar cerita di salah satu angkringan di dekat alun-alun Kidul. Atau bercengkrama disela-sela belanja di pasar Beringharjo yang khasnya tak pernah lekang oleh waktu. Bersantap nasi kucing dengan lauk beberapa tusuk usus dan sate telor puyuh, dan sejuta keramahan yang tersimpan rapih di sudut-sudut kota. Bandung adalah tempat paling tepat bagi siapapun yang mau menaruh sejuta luka, melupakannya sejenak dan menikmati segala pernak-pe

Bocah Cadel Lampu Merah - Morfem

Ku menghentikan motorku Di lampu merah selatan Jam sebelas di arloji Kurapatkanlah jaketku Dan, berkhayal telah di rumah Seorang bocah lelaki Yang belum lancar bicara Mendekati dengan senyum Dan tangan yang menengadah Sepertinya hanya itu Yang baru sempat diajarkan Oleh Ibunya Ia bermain, besar di trotoar Diterangi, hangat lampu jalan Nyanyi riuh klakson, debu Ia dibuai, caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Mendung siang hari, peluh Bermandi hujan di aspal Malam silih berganti Pasti jumpa dirinya Kini mulai bisa nyanyi Lagu yang sering di TV Walaupun cadel lidahnya Ia bermain besar di trotoar Diterangi hangat lampu jalan Ia dibuai caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Nyanyi riuh klakson, peluh Bermandi hujan di aspal Tampak ibunya bangga Di kejauhan berkipas Sambil nikmati limunnya