Skip to main content

Kelak, Kamu Adalah Orang Yang Paling Kurindukan

Aku tak pernah tau sampai kapan aku terus bisa dekat denganmu, menikmati indah senyummu, dan tentu, tertawa lepas bersamamu.

Setiap kali kita bertemu, aku selalu merasa menjadi lebih dekat denganmu, merasa bahwa kamulah manusia yang tepat untuk menemaniku sampai tua nanti. Lalu, aku membayangkan setiap seduhan kopi pagimu diracik olehku, membayangkan setiap akhir pekan, aku dan dirimu menghabiskan pagi pagi yang indah dihalaman rumah, kamu menikmati kopimu dan aku menikmati teh-ku. Kita ngobrol tentang masa lalu kita, menceritakan masa masa pacaran ketika aku dan kamu masih canggung satu sama lain, atau tidak menutup kemungkinan kita malah membicarakan angka dalam jumlah anak yang kita rencanakan.

Jika kelak kita ditakdirkan untuk menghabiskan waktu bersama-sama hingga tua nanti, kamu menjadi suami dan aku menjadi istrimu, aku selalu membayangkan betapa indahnya separuh hidupku dihabiskan dengan lelaki yang amat menyenangkan sepertimu, ditambah buah hati yang lucu lucu. Setiap pagi sebelum shalat shubuh, aku membangunkan dirimu atau dibangungkan olehmu dari tidur yang nyenyak, lalu aku bisa menikmati senyummu dari jarak yang begitu dekat.

Menjadi istrimu kelak, tentu aku akan termanjakan oleh 'jokes-jokes' konyol darimu yang sampai saat ini selalu sukses membuatku terpingkal-pingkal. Aku akan menjadi perempuan paling beruntung jika benar-benar dinikahi olehmu, oleh lelaki yang aku idam idamkan menemaniku sampai tua nanti, yang jika benar terjadi berarti do'a do'aku pada Tuhan terkabul.

Sudah barang tentu aku akan selalu dekat denganmu ketika kamu pulang dari kantor atau kerjaan lain yang memaksamu pulang lebih larut. Aku akan menunggumu sampai kamu pulang kerumah, lalu mengambil alih koper atau tasmu yang sudah kamu bawa sepanjang hari, membuatkanmu teh manis dan air hangat untuk mandi, kita akan menjadi pasangan yang saling melengkapi satu sama lain.

Meskipun tak ada yang benar-benar mengerti dan paham tentang masa depan, termasuk aku, tapi izinkan aku sedikit aja mengkhayal momen momen romantis dan menyenangkan jika kita benar-benar dipersatukan dalam pernikahan sampai tua nanti. Biar saja aku sedikit berlebihan, aku tak tahan menahan pikiran-pikiran liarku membayangkan menghabiskan waktu bersamamu dihari tua.

Atau jika Tuhan tidak memberi izin untuk kita tinggal dibawah satu atap, setidaknya kamu adalah lelaki yang kelak paling kurindukan.

Comments

Popular posts from this blog

Tapi, Indramayu adalah Romantisme

Dadaku pernah mendesir selagi menyaksikan rusa-rusa diberi makan oleh mereka yang berbahagia di Ranca Upas, di Bandung. Menjaring kabut di Lembang, bercengkrama dengan dingin yang menyapa sampai kulit terdalam. Aku pernah, menikmati ombak lemah-lembut di pantai di Gunung Kidul. Pasir putih dan tebing yang indahnya bukan main. Atau diterjang ombak besar di pantai Trisik, di Jogja. Memetik buah naga di sepanjang pekarangan di dekat pantainya. Menyapa angin pantai yang tiupannya membuat rambut gondrongku tertiup angin kesana-kemari. Menelusuri keraton dan bertukar cerita di salah satu angkringan di dekat alun-alun Kidul. Atau bercengkrama disela-sela belanja di pasar Beringharjo yang khasnya tak pernah lekang oleh waktu. Bersantap nasi kucing dengan lauk beberapa tusuk usus dan sate telor puyuh, dan sejuta keramahan yang tersimpan rapih di sudut-sudut kota. Bandung adalah tempat paling tepat bagi siapapun yang mau menaruh sejuta luka, melupakannya sejenak dan menikmati segala pernak-pe

Gadis Lima Belas Tahun

Lalu, gadis berumur lima belas tahun itu menghampiriku perlahan, sambil melambai manja ia menawarkan: "Dua ratus lima puluh ribu, mas." Aku hanya senyum sekadar senyum. "Umurmu berapa, dek?" "Lima belas tahun, mas." "Bukankah tak baik gadis lima belas tahun di sini?" Lalu, hening sesaat. Sesak dadaku berpikir kalau-kalau ucapanku menyinggung perasaannya. "Hidup tak hanya tentang baik dan buruk, mas. Setidaknya begitu menurut saya."

Bocah Cadel Lampu Merah - Morfem

Ku menghentikan motorku Di lampu merah selatan Jam sebelas di arloji Kurapatkanlah jaketku Dan, berkhayal telah di rumah Seorang bocah lelaki Yang belum lancar bicara Mendekati dengan senyum Dan tangan yang menengadah Sepertinya hanya itu Yang baru sempat diajarkan Oleh Ibunya Ia bermain, besar di trotoar Diterangi, hangat lampu jalan Nyanyi riuh klakson, debu Ia dibuai, caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Mendung siang hari, peluh Bermandi hujan di aspal Malam silih berganti Pasti jumpa dirinya Kini mulai bisa nyanyi Lagu yang sering di TV Walaupun cadel lidahnya Ia bermain besar di trotoar Diterangi hangat lampu jalan Ia dibuai caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Nyanyi riuh klakson, peluh Bermandi hujan di aspal Tampak ibunya bangga Di kejauhan berkipas Sambil nikmati limunnya