Skip to main content

Tempat Baru

Aku terpenjara oleh rasaku, mati rasa oleh perasaanku sendiri. Tapi, kamu adalah hal yang bisa membuatku berani menghadapi ke-hambaran ini.

Jum'at yang lalu, tepat pukul tujuh malam, telepon genggamku bergetar, ada namamu disana, pertanda panggilan masuk dari lelaki yang membuatku mampu melupakan kesakitan kesakitan yang ada.

Dari ceritamu, kamu hampir setiap hari ke klub, bahkan melalui suara manismu diujung telepon kamu bilang sampai kerumah mami untuk menanyakan keberadaanku. Entah ceritamu itu serius dan betul betul sesuatu yang kamu lakukan atau seperti biasa bahwa kamu cuma mau menghiburku. Apapun itu, aku senang mendengarnya, aku tersenyum tak karuan, tak jelas perasaan apa yang sedang kurasakan, aku senang. Senang yang terlalu senang.

Lalu kamu bertanya dengan pertanyaan khas darimu yang selalu membuatku bersemangat menjawabnya. "Kenapa harus pindah sih? Aku udah lama banget ngga baca komik sama km". Aku cuma diam, menutupi rapat rapat semangatku agar tak kamu tau bahwa sebenarnya aku suka pertanyaan darimu itu. "Aku bolak balik ke klub hampir tiap hari, kirain kamu lagi cuti, aku nyari nyari ngga ada".  Tak aku jawab, baru kusadari aku lebih suka mendengarmu bercerita.

Aku cuma takut, takut suatu nanti hatimu tak lagi utuh, tak lagi seperti hari ini, aku takut bahwa nanti ada luka dihatimu, yang diam diam lukanya semakin membesar. Aku takut bahwa ternyata akulah yang membuat luka itu. Kamu harus percaya, aku tak akan pernah sanggup melihatmu tak lagi utuh seperti dirimu hari ini. Aku takut melukaimu, membuatmu hancur.

Aku sadar dalam hubungan kita, aku dan dirimu hanya sebatas dua pasang manusia yang dipertemukan Tuhan lalu bersenang-senang, kesana kemari selalu bersama. Aku paham selain pertemanan tak ada yang istimewa dalam hubungan kita. Tapi rasaku yang tak biasa untukmu, rasa senang yang meledak-ledak ketika menghabiskan waktu bersamamu membuatku takut. Bagaimana jika akhirnya aku selalu meladenimu menghabiskan waktu bersama-sama? Yang terjadi selanjutnya adalah nyinyiran dari mereka yang menonton kedekatan kita, dari teman-teman, mantan atau bahkan keluargamu.

Dalam obrolan malam kita via telepon itu aku seperti orang yang kehilangan gairah untuk berbicara kepada lawan jenis, bukan karena benar-benar tak suka, tapi aku harus segera menyadari bahwa aku harus membangun dinding batas denganmu, batas yang kurasa ampuh untuk meredam segala pandangan buruk orang-orang kepadamu. Batas yang sebenarnya membuatku terbunuh perlahan-lahan, membuatku seperti mau menangis setiap saat, batas yang membuatku tak sanggup kulakukan, tapi harus tetap kulakukan.

Terserah jika mau menilaiku berlebihan soal efek batas yang kubuat itu, tapi kamu harus tau, harus paham dengan perasaanmu yang tulus, bagaimana rasanya mencintai diam-diam sepenuh hati, menghabiskan sudah banyak sekali waktu bersama, tertawa lepas tak kenal beban, lalu disusul rasa senang yang tak kuasa ditampung hati ketika setiap kali bertemu. Tapi tibatiba, dipaksa harus berhenti.

Semoga kamu paham perasaan-perasaanku, semoga kamu mengerti keadaan-keadaan hatiku, semoga kamu jeli membaca pikiran-pikiranku, aku mencintaimu tanpa pernah tau apa yang harus kulakukan untuk cintaku.

Comments

Popular posts from this blog

Suatu Hari Anakmu

--- digubah dari tulisan Bhagavad Sambadha Suatu hari anakmu melihat seorang mahasiswa menangis di lorong gelap di salah satu gedung, setelah sebelumnya bertemu ketua dekan untuk nego bayaran kuliah. Mahasiswa itu tidak pernah sekalipun dalam hidupnya takut di-DO, ia hanya takut orang tuanya kelelahan mencari dana selagi dirinya menjadi pelajar. Suatu hari anakmu melihat bocah umur lima belas tahun bekerja siang malam demi nasi dan lauk yang dimakan oleh dirinya dan adik-adik. Di tempatnya bekerja, keringat dan air yang mengalir di wastafel di kampus anakmu belajar mungkin sama derasnya. Bocah itu tidak pernah sekalipun dalam hidupnya takut kelaparan, ia hanya takut orang tuanya kekeringan keringat selagi ia dan adik-adik asik menyantap makanan. Suatu hari anakmu melihat seorang remaja seumur SMP dan SMA menjajakan tissue di bawah lampu merah di mana orang-orang mengumpat karena panas dan dikejar waktu. Di sana, matahari bahkan lebih menakutkan dari perut kosong, karena panasnya tak bi...

Gadis Lima Belas Tahun

Lalu, gadis berumur lima belas tahun itu menghampiriku perlahan, sambil melambai manja ia menawarkan: "Dua ratus lima puluh ribu, mas." Aku hanya senyum sekadar senyum. "Umurmu berapa, dek?" "Lima belas tahun, mas." "Bukankah tak baik gadis lima belas tahun di sini?" Lalu, hening sesaat. Sesak dadaku berpikir kalau-kalau ucapanku menyinggung perasaannya. "Hidup tak hanya tentang baik dan buruk, mas. Setidaknya begitu menurut saya."

Mbak Kiki

Adalah perempuan Dengan tangan yang paling mirip Dengan Ibu Adalah perempuan Dengan hati yang paling mirip Dengan Ibu Adalah sosok Dengan kelembutan, yang paling mirip Dengan Ibu Adalah semoga Yang tidak menangisi kegagalan Si Bungsu Dengan Ibu