Skip to main content

Mimpi

Ada yang tumbuh dalam dadaku, sesuatu yang membuatku berdebar ketika mengingatnya, impian-impian itu tumbuh didalam hatiku. Semakin hari skalanya semakin membesar, semakin hari tumbuh dengan ukuran yang tak bisa kuhitung, sampai-sampai aku takut bahwa hatiku tak kuat menampung impian-impianku sendiri.

Impianku sederhana saja, pertama yang paling kuingin adalah sesosok lelaki. Lelaki yang bukan cuma menemaniku tidur, bukan untuk menemaniku mabuk, tapi lelaki yang setia disampingku apapun yang terjadi denganku. Lelaki yang rela menghabiskan hari-hari berharganya hanya untuk mengobrol denganku, menemaniku saat aku kesepian dan ketakutan.

Aku mau lelaki yang rela mengorbankan waktunya untuk menafkahi-ku, aku sudah cukup muak dengan lelaki yang butuh denganku hanya untuk memuaskan nafsunya. Aku butuh lelaki yang benar benar lelaki, yang membuat keringatnya menjadi pahala, yang membuat lelahnya menjadi ibadah dan yang membuat ucapannya berharga. Aku mau lelaki utuh untuk menjadi suamiku, suami yang benar-benar suami, yang bukan seperti pelanggan-pelangganku dulu. Aku mau suami yang setiap apapun yang dilakukannya hanya untuk keluarganya. Aku mau suami yang menerima segala keburukan dan kebaikan yang melekat didalam diriku.

Impian keduaku, aku mau punya rumah layak dan anak anak yang lucu, cerdas dan nurut. Setidaknya nurut denganku dan suamiku.

Karena aku suka anak anak, aku selalu membayangkan keluargaku kelak menjadi keluarga yang dipenuhi anak anak. Untuk anak anakku kelak, aku mau rumah yang layak dan agak besar, biar anakku tak bosan hanya bermain di satu-dua ruangan di rumahnya. Aku tak mau anak anakku bernasib serupa denganku, tinggal dikontrakan sempit dimana samping kiri dan kanannya dipenuhi kontrakan yang lain. Aku juga tak bisa membayangkan anak-anakku tumbuh dilingkungan yang dimana orang tua dan anak seperti tak ada batasnya. Aku tak mau anakku merokok didepanku dengan santainya, atau berbicara kasar dengan temannya dihadapanku. Sebagai seorang ibu, tentu aku mau anak-anakku tumbuh dilingkungan yang membuat pikiran mereka berkembang, berteman dengan anak tetangga yang baik dan sopan, lalu jika selesai bermain ia bisa dengan tenang menikmati rumah yang diisi keharmonisan dan ruangan ruangan yang bersih dan nyaman.

Sederhana, mungkin orang-orang menganggap bahwa mimpiku standar, tak ada yang istimewa. Suami, rumah, anak-anak yang pintar, semua orang memimpikannya, tak ada yang khusus. Mungkin juga beberapa orang menganggap mimpiku terlalu kuno, aku masih bermimpi memiliki keluarga dan rumah disaat yang lain bermimpi liburan di Venesia, Berlin, Roma, Paris atau bahkan bermain Kasino di Las Vegas dengan uang yang tak ada habis habisnya. Aku terlalu sederhana untuk mimpi-mimpi dimasa depan, tak apa, sebab yang sebenarnya aku butuhkan cuma itu.

Mimpiku hanya akan terjadi sekali seumur hidup, maka tentu aku akan berjuang sebisa yang kumampu untuk mimpi-mimpiku. Aku terus memperbaiki diriku untuk calon suami yang kelak akan kucintai sepenuh hati. Tentang masa lalu itu, aku sudah membuangnya jauh-jauh, sedikitpun tak ingin aku mengaisnya. Sampai hari ini, aku bekerja dengan halal,  meski menjadi pelayan restoran, aku sudah terlampau bahagia ketimbang bekerja dengan mami. Pendapatanku pas-pasan, cukup untuk bayar kontrakan dan makan, tapi meski begitu aku selalu menyisihkan uang gajianku untuk mimpi-mimpiku.

Selain memperbaiki akhlak untuk suamiku, aku juga belajar sabar untuk anak-anakku kelak. Aku belajar bahwa setiap apapun harus dilakukan dengan kesabaran, begitupun dengan mendidik anak. Aku tak mau melukai hati anak-anakku dengan lisan dan perbuatan yang sebabnya karena aku tak bisa bersabar. Aku tak mau harus marah marah hanya karena anak-anakku agak bandel diwanti-wanti atau sedikiti tak nurut ketika diperintah. Aku mau memberi edukasi kepada mereka jika mereka melakukan hal demikian, bukan dengan cara memarahinya. Oleh itu aku belajar, belajar menjadi seorang ibu yang sabar sekaligus tegas.

Ada banyak hal yang harus kubenahi dalam diriku, aku paham tak mudah mengubah kebiasaan masa laluku. Bahkan pusing yang kadang kadang datang-yang mungkin efek karena aku berhenti mengkonsumsi obat-obatan seringkali membuatku kesal, membuatku ingin memuntahkan isi kepala. Tapi semua itu, pahit yang berdatangan secara bertubi-tubi itu harus kuhadapi, aku harus paham bahwa rasa pahit dan muak itulah yang membuatku tumbuh dan kuat.

Mimpi-mimpiku harus menjadi sesuatu yang kurasakan secara nyata. Aku sudah bertekad untuk sepenuhnya menjadi perempuan seutuhnya, aku harus berjuang, meskipun sulit dan banyak godaan.

Masa laluku penuh dengan kekacauan dan kesalahan, tapi masa depanku? Ia tak salah, sedikitpun tidak, tak sepantasnya ia menanggung keburukan masa laluku. Aku harus bertanggung jawab untuk mengubah masa depanku menjadi lebih layak untuk kunikmati. Aku sudah berubah, dan aku sedang menuju kesana, ke tempat yang lebih baik dari masa laluku.

Comments

Popular posts from this blog

Tapi, Indramayu adalah Romantisme

Dadaku pernah mendesir selagi menyaksikan rusa-rusa diberi makan oleh mereka yang berbahagia di Ranca Upas, di Bandung. Menjaring kabut di Lembang, bercengkrama dengan dingin yang menyapa sampai kulit terdalam. Aku pernah, menikmati ombak lemah-lembut di pantai di Gunung Kidul. Pasir putih dan tebing yang indahnya bukan main. Atau diterjang ombak besar di pantai Trisik, di Jogja. Memetik buah naga di sepanjang pekarangan di dekat pantainya. Menyapa angin pantai yang tiupannya membuat rambut gondrongku tertiup angin kesana-kemari. Menelusuri keraton dan bertukar cerita di salah satu angkringan di dekat alun-alun Kidul. Atau bercengkrama disela-sela belanja di pasar Beringharjo yang khasnya tak pernah lekang oleh waktu. Bersantap nasi kucing dengan lauk beberapa tusuk usus dan sate telor puyuh, dan sejuta keramahan yang tersimpan rapih di sudut-sudut kota. Bandung adalah tempat paling tepat bagi siapapun yang mau menaruh sejuta luka, melupakannya sejenak dan menikmati segala pernak-pe

Gadis Lima Belas Tahun

Lalu, gadis berumur lima belas tahun itu menghampiriku perlahan, sambil melambai manja ia menawarkan: "Dua ratus lima puluh ribu, mas." Aku hanya senyum sekadar senyum. "Umurmu berapa, dek?" "Lima belas tahun, mas." "Bukankah tak baik gadis lima belas tahun di sini?" Lalu, hening sesaat. Sesak dadaku berpikir kalau-kalau ucapanku menyinggung perasaannya. "Hidup tak hanya tentang baik dan buruk, mas. Setidaknya begitu menurut saya."

Bocah Cadel Lampu Merah - Morfem

Ku menghentikan motorku Di lampu merah selatan Jam sebelas di arloji Kurapatkanlah jaketku Dan, berkhayal telah di rumah Seorang bocah lelaki Yang belum lancar bicara Mendekati dengan senyum Dan tangan yang menengadah Sepertinya hanya itu Yang baru sempat diajarkan Oleh Ibunya Ia bermain, besar di trotoar Diterangi, hangat lampu jalan Nyanyi riuh klakson, debu Ia dibuai, caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Mendung siang hari, peluh Bermandi hujan di aspal Malam silih berganti Pasti jumpa dirinya Kini mulai bisa nyanyi Lagu yang sering di TV Walaupun cadel lidahnya Ia bermain besar di trotoar Diterangi hangat lampu jalan Ia dibuai caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Nyanyi riuh klakson, peluh Bermandi hujan di aspal Tampak ibunya bangga Di kejauhan berkipas Sambil nikmati limunnya