Skip to main content

Itukah kamu?

Lantas apa yang harus diperbuat?
Lari?
Berlari macam apa ketika satu kakiku hilang?
Terbang?
Terbang seperti apa yang kutunjukan ketika sayap sayapku kau runtuhkan?
Atau pergi?
Jauh darimu padahal kamu adalah bagian dari jiwa jiwaku?
Aku mohon
Jangan paksa aku berlari ketika aku hanya sanggup berjalan
Berdampingan dengan kamu disampingku
Jangan buat aku melupakan tiap sudut dirimu dengan sangat terpaksa
Jangan buat aku melupakan sesuatu yang setiap saat aku mengingatnya
Dengan pagi, dengan naiknya sinar mentari
Dengan sangat tidak memikirkan sesuatu dalam hatiku
Dengat sangat tak berperasaan
Dengan senyuman paling kejam darimu
Aku dengan hati bercucuran, dengan perasaan paling remuk
Kamu paksa aku untuk berhenti
Aku mulai berlari tanpa kaki
Mulai mencoba terbang tanpa sayap
Entah bisa atau tidak
Entah kuat atau tidak
Entah mampu atau tidak
Tapi kamu yang memaksaku
Berhenti
Sepi
Mati
Membiarkan aku sendiri melewati kerikil sepanjang jalan yang aku lewati
Tanpa ukiran tawa dibibirmu
Tanpa haha-hihi darimu
Tanpa pelukan erat darimu
Tanpa sesuatu yang dulu paling aku rindu
Tegakah kamu?
Harus sekejam itukah kamu?
Melihatku hidup tetapi dengan jiwa yang kau ambil?
Melihatku mati
Melihatku sepi
Melihatku gelap dalam terang
Melihatku tak bisa apa apa dalam setiap gerakku?
Setega itukah kamu?
Sekejam itukah dirimu?
Aku hancur
Hancur dengan keping keping pecahan yang kau bawa
Kata katamu yang membuatku hidup tak hidup
Membuatku mati tak mati
Menyiksaku mati secara hidup
Terimakasih
Ucapanmu membuatku merasakan sesuatu
yang aku tak pernah mengerti apa namanya
Ada yang hilang ketika semuanya berhenti
Ada perasaan dalam jiwaku
Hilang olehmu
Itukah kamu?

Comments

Popular posts from this blog

Tapi, Indramayu adalah Romantisme

Dadaku pernah mendesir selagi menyaksikan rusa-rusa diberi makan oleh mereka yang berbahagia di Ranca Upas, di Bandung. Menjaring kabut di Lembang, bercengkrama dengan dingin yang menyapa sampai kulit terdalam. Aku pernah, menikmati ombak lemah-lembut di pantai di Gunung Kidul. Pasir putih dan tebing yang indahnya bukan main. Atau diterjang ombak besar di pantai Trisik, di Jogja. Memetik buah naga di sepanjang pekarangan di dekat pantainya. Menyapa angin pantai yang tiupannya membuat rambut gondrongku tertiup angin kesana-kemari. Menelusuri keraton dan bertukar cerita di salah satu angkringan di dekat alun-alun Kidul. Atau bercengkrama disela-sela belanja di pasar Beringharjo yang khasnya tak pernah lekang oleh waktu. Bersantap nasi kucing dengan lauk beberapa tusuk usus dan sate telor puyuh, dan sejuta keramahan yang tersimpan rapih di sudut-sudut kota. Bandung adalah tempat paling tepat bagi siapapun yang mau menaruh sejuta luka, melupakannya sejenak dan menikmati segala pernak-pe

Gadis Lima Belas Tahun

Lalu, gadis berumur lima belas tahun itu menghampiriku perlahan, sambil melambai manja ia menawarkan: "Dua ratus lima puluh ribu, mas." Aku hanya senyum sekadar senyum. "Umurmu berapa, dek?" "Lima belas tahun, mas." "Bukankah tak baik gadis lima belas tahun di sini?" Lalu, hening sesaat. Sesak dadaku berpikir kalau-kalau ucapanku menyinggung perasaannya. "Hidup tak hanya tentang baik dan buruk, mas. Setidaknya begitu menurut saya."

Bocah Cadel Lampu Merah - Morfem

Ku menghentikan motorku Di lampu merah selatan Jam sebelas di arloji Kurapatkanlah jaketku Dan, berkhayal telah di rumah Seorang bocah lelaki Yang belum lancar bicara Mendekati dengan senyum Dan tangan yang menengadah Sepertinya hanya itu Yang baru sempat diajarkan Oleh Ibunya Ia bermain, besar di trotoar Diterangi, hangat lampu jalan Nyanyi riuh klakson, debu Ia dibuai, caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Mendung siang hari, peluh Bermandi hujan di aspal Malam silih berganti Pasti jumpa dirinya Kini mulai bisa nyanyi Lagu yang sering di TV Walaupun cadel lidahnya Ia bermain besar di trotoar Diterangi hangat lampu jalan Ia dibuai caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Nyanyi riuh klakson, peluh Bermandi hujan di aspal Tampak ibunya bangga Di kejauhan berkipas Sambil nikmati limunnya