Skip to main content

Penjelasanku Tentang Shalat Asharku

Diantara derai rambutku yang basah, haruskah menjadi hina agar bisa makan?

Hari ini, lengkap dengan mukena dan wajah yang dibasahi air wudhu, untuk yang entah setelah berapa lama aku kembali masuk diantara ubin mushola. Dengan niat yang mantap dan entah dengan berapa tetes air mata yang mengalir bersamaan dengan air wudhu diantara kedua pipiku.

Tuhan, entah ini menghinamu atau malah mempermainkanmu. Aku bersujud dengan kening yang isinya penuh dengan hal hal yang tak bisa aku tuliskan dibait bait tulisanku ini. Tuhan, aku tak bermaksud untuk sedang bermain main denganmu. Sedikitpun tak bermaksud menghinamu.
Hari ini, pukul tiga lewat tigapuluh tiga menit aku bersujud di rumahmu. Seorang pelacur menunaikan shalat ashar pertamanya setelah entah sekian lama tak ia lakukan.

Tuhan, terlepas engkau melihat rukuk dan sujudku atau tidak, aku merasa nyaman setiap kali melakukannya. Diantara empat rakaat yang aku lakukan aku merasa bahwa aku tak harus berlari dari pandanganmu. Aku merasa aku tak harus menjadi kupu kupu malam agar mampu terbang. Aku merasa tak harus pulang pukul empat pagi agar dapat makan. Aku merasa aku tak harus melayani lelaki yang tak kusuka, tak kucinta, tak kukenal. Aku merasa segalanya baik baik saja, aku merasa Engkau ada disaat empat rakaatku.

Tapi Tuhan bukankah hidup bagian dari perjuangan diantara berbagai kehidupan yang kelak akan kujalani? Bukankah menjadi pelacur adalah perjuangan? Perjuanganku untuk hidup? Iya atau tidak Tuhan?

Setelah lima menit diantara sujud sujudku untukMu, tentu Engkau tau aku menangis pada arah dimana orang orang bersujud kepadamu. Tanpa tak tau malu, aku menangis dengan hina dihadapanmu. Aku menangis seakan aku lupa, aku pelacur. Penghibur suami orang, perantara nafsu sesaat.

Tuhan, entah harus dengan kata kata apa aku menceritakannya padamu. Aku ingin berhenti, aku ingin hidupku terlepas dari hal yang tak Kau suka.

Jika boleh jujur, aku mulai menyukai caraku bersujud kepadaMu. Cara orang orang untuk menyembahMu. Sejujurnya aku tenang ketika keningku menyentuh lantai. Aku tenang pada setiap sujudku empat rakaat pada asharku yang pertama sebagai pelacur.

Jika tak harus menjadi hina untuk bersujud kepadamu, untuk bertaubat kepadamu. Apa juga tak harus menjadi suci untuk bersujud kepadamu?

Comments

Popular posts from this blog

Tapi, Indramayu adalah Romantisme

Dadaku pernah mendesir selagi menyaksikan rusa-rusa diberi makan oleh mereka yang berbahagia di Ranca Upas, di Bandung. Menjaring kabut di Lembang, bercengkrama dengan dingin yang menyapa sampai kulit terdalam. Aku pernah, menikmati ombak lemah-lembut di pantai di Gunung Kidul. Pasir putih dan tebing yang indahnya bukan main. Atau diterjang ombak besar di pantai Trisik, di Jogja. Memetik buah naga di sepanjang pekarangan di dekat pantainya. Menyapa angin pantai yang tiupannya membuat rambut gondrongku tertiup angin kesana-kemari. Menelusuri keraton dan bertukar cerita di salah satu angkringan di dekat alun-alun Kidul. Atau bercengkrama disela-sela belanja di pasar Beringharjo yang khasnya tak pernah lekang oleh waktu. Bersantap nasi kucing dengan lauk beberapa tusuk usus dan sate telor puyuh, dan sejuta keramahan yang tersimpan rapih di sudut-sudut kota. Bandung adalah tempat paling tepat bagi siapapun yang mau menaruh sejuta luka, melupakannya sejenak dan menikmati segala pernak-pe

Gadis Lima Belas Tahun

Lalu, gadis berumur lima belas tahun itu menghampiriku perlahan, sambil melambai manja ia menawarkan: "Dua ratus lima puluh ribu, mas." Aku hanya senyum sekadar senyum. "Umurmu berapa, dek?" "Lima belas tahun, mas." "Bukankah tak baik gadis lima belas tahun di sini?" Lalu, hening sesaat. Sesak dadaku berpikir kalau-kalau ucapanku menyinggung perasaannya. "Hidup tak hanya tentang baik dan buruk, mas. Setidaknya begitu menurut saya."

Bocah Cadel Lampu Merah - Morfem

Ku menghentikan motorku Di lampu merah selatan Jam sebelas di arloji Kurapatkanlah jaketku Dan, berkhayal telah di rumah Seorang bocah lelaki Yang belum lancar bicara Mendekati dengan senyum Dan tangan yang menengadah Sepertinya hanya itu Yang baru sempat diajarkan Oleh Ibunya Ia bermain, besar di trotoar Diterangi, hangat lampu jalan Nyanyi riuh klakson, debu Ia dibuai, caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Mendung siang hari, peluh Bermandi hujan di aspal Malam silih berganti Pasti jumpa dirinya Kini mulai bisa nyanyi Lagu yang sering di TV Walaupun cadel lidahnya Ia bermain besar di trotoar Diterangi hangat lampu jalan Ia dibuai caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Nyanyi riuh klakson, peluh Bermandi hujan di aspal Tampak ibunya bangga Di kejauhan berkipas Sambil nikmati limunnya