Skip to main content

Penjelasanku Tentang Kamu

Aku hanya perempuan yang berusaha mencintaimu dengan sempurna. Dengan kata kata yang tak mampu menggambarkan, dengan suara yang tak kuasa didengar, dengan segala pekerjaanku yang orang bilang sebagai pelacur. Penghibur hasrat sesaat yang dengan sangat terpaksa dilakukan demi mengganjal perut lapar.

Aku sadar siapa aku. Aku hanya perempuan yang pulang jam tiga atau empat pagi dengan pekerjaan yang sebagian orang jijik mendengarnya.

Aku melihatmu disudut terjauh dari pandangan mataku. Diam diam. Tanpa sepengetahuan darimu. Tanpa izin resmi darimu. Aku mencintaimu.

Jika harus kukatakan aku selalu membayangankan tamu tamu yang kulayani adalah sosok lain darimu. Sekali lagi maaf, ini samasekali tanpa seizinmu aku memakai khayalanku dengan figur lelaki se-sempurna km.

Aku melakukan hal paling lancang dari sosokmu itu semata mata hanya agar aku tak terluka setiap kali harus seranjang dengan lelaki yang samasekali tak kuncinta, tak kusuka, bahkan tak kukenal sekalipun. Aku hanya berusaha sedikit mengurangi rasa sakit pada hatiku dengan cara meminjam bayanganmu. Percayalah, aku tak bermaksud untuk bersikap tidak sopan denganmu.

Aku menulis ini sehari setelah kamu dengan gagah mengantarku pulang sampai tepat didepan halaman rumah. Kamu harus benar benar percaya jika kukatakan senyum yang kemarin malam kupanjatkan untukmu adalah senyum paling tulus yang kuberikan dengan rasa paling tulus kepadamu.

Diam diam, tanpa sepengetahuanmu, disepanjang perjalanan pulang itu aku merasa hangat berada sangat dekat dengamu. Aku merasa duduk dibelakang lelaki yang benar benar mampu memberiku rasa aman, setidaknya kamu mampu menjadi penenangku malam itu.

Sebelum kamu meninggalkan halaman rumahku dengan motor kesayanganmu yang warnanya abu abu itu, dengan kebiasaanmu kamu selalu mempu membuatku memandang dengan pandanganku yang sangat terbatas: Kamu sempurna.

Aku selalu ingat kebiasaanmu yang membuatku entah mengapa tergila gila kepadamu. "Jangan lupa langsung tidur, istirahat" lalu dengan sangat terbiasa aku membalas ocehan yang entah itu basa basimu atau malah harapanku bahwa itu memang perhatian kecilmu untukku. "Siap bos!" jawabku dengan perasaan yang bisa didefinisikan campur aduk. Senang, bahagia dan bahagia sekali.

Ini dua belas malam dan tamu sedang ramai ramainya. Aku sedang duduk dibelakang, ditempat yang biasa aku posisikan ketika bicara denganmu lewat telepon. Empat puluh menit yang lalu kamu meneleponku, menanyakan aku pulang jam berapa, kamu menjemputku jam berapa dan pertanyaan pertanyaan kecil khas darimu yang menurutku mampu membuatku sedikit lebih tenang menghadapi pekerjaanku.

Entah kau ingin kunamai apa, diatas teman dan diatas kekasih yang pasangannya hanya aku dan pikiranku yang semuanya tentangmu. Aku harap kau tau aku menulis ini untukmu. Menjelaskan perasaan seorang pelacur kepada lelaki super baik sepertimu.

Tiga jam yang akan datang biasanya kamu sudah didepan, menungguku dengan tenang. Entah kamu menyadari atau malah tidak, aku sudah mencintaimu.

Comments

Popular posts from this blog

Tapi, Indramayu adalah Romantisme

Dadaku pernah mendesir selagi menyaksikan rusa-rusa diberi makan oleh mereka yang berbahagia di Ranca Upas, di Bandung. Menjaring kabut di Lembang, bercengkrama dengan dingin yang menyapa sampai kulit terdalam. Aku pernah, menikmati ombak lemah-lembut di pantai di Gunung Kidul. Pasir putih dan tebing yang indahnya bukan main. Atau diterjang ombak besar di pantai Trisik, di Jogja. Memetik buah naga di sepanjang pekarangan di dekat pantainya. Menyapa angin pantai yang tiupannya membuat rambut gondrongku tertiup angin kesana-kemari. Menelusuri keraton dan bertukar cerita di salah satu angkringan di dekat alun-alun Kidul. Atau bercengkrama disela-sela belanja di pasar Beringharjo yang khasnya tak pernah lekang oleh waktu. Bersantap nasi kucing dengan lauk beberapa tusuk usus dan sate telor puyuh, dan sejuta keramahan yang tersimpan rapih di sudut-sudut kota. Bandung adalah tempat paling tepat bagi siapapun yang mau menaruh sejuta luka, melupakannya sejenak dan menikmati segala pernak-pe

Gadis Lima Belas Tahun

Lalu, gadis berumur lima belas tahun itu menghampiriku perlahan, sambil melambai manja ia menawarkan: "Dua ratus lima puluh ribu, mas." Aku hanya senyum sekadar senyum. "Umurmu berapa, dek?" "Lima belas tahun, mas." "Bukankah tak baik gadis lima belas tahun di sini?" Lalu, hening sesaat. Sesak dadaku berpikir kalau-kalau ucapanku menyinggung perasaannya. "Hidup tak hanya tentang baik dan buruk, mas. Setidaknya begitu menurut saya."

Bocah Cadel Lampu Merah - Morfem

Ku menghentikan motorku Di lampu merah selatan Jam sebelas di arloji Kurapatkanlah jaketku Dan, berkhayal telah di rumah Seorang bocah lelaki Yang belum lancar bicara Mendekati dengan senyum Dan tangan yang menengadah Sepertinya hanya itu Yang baru sempat diajarkan Oleh Ibunya Ia bermain, besar di trotoar Diterangi, hangat lampu jalan Nyanyi riuh klakson, debu Ia dibuai, caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Mendung siang hari, peluh Bermandi hujan di aspal Malam silih berganti Pasti jumpa dirinya Kini mulai bisa nyanyi Lagu yang sering di TV Walaupun cadel lidahnya Ia bermain besar di trotoar Diterangi hangat lampu jalan Ia dibuai caci maki merdu Matahari, warna-warni mesin Nyanyi riuh klakson, peluh Bermandi hujan di aspal Tampak ibunya bangga Di kejauhan berkipas Sambil nikmati limunnya